Sabtu, 30 Agustus 2025

Fakta Dhermojoyo dalam "Laporan Khusus" Surat Kabar Belanda


JUDUL : PENYEBAB PERLAWANAN DI BARONG

LATAR PENYELIDIKAN

Sebuah penelitian mengenai sebab-sebab perlawanan di daerah Bandoengan (Bendungan) dilakukan oleh kontributor surat kabar De Locomotief. Ia berusaha menggali inti persoalan dengan metode tertentu. Menurutnya, sumber terbaik untuk memahami peristiwa di desa adalah penduduk setempat, sebab mereka mengetahui hal-hal tersembunyi. Namun, memperoleh keterangan jujur dari mereka sulit, karena rasa takut, kepentingan pribadi, atau kecenderungan untuk tidak terus terang.

Untuk itu, bantuan didapat dari seorang pensiunan pejabat pribumi, mantan polisi, yang memiliki jaringan keluarga dan teman di Barong. Dengan menyamar sebagai orang yang hanya datang untuk urusan keluarga, ia berhasil mendapatkan keterangan lebih terbuka. Dari informasi yang terkumpul, ditarik beberapa kesimpulan yang meskipun tidak sempurna, tetap bernilai karena didasarkan pada communis opinio (pendapat umum), bukan pada ketakutan atau upaya menyenangkan pihak berkuasa.

BANTAHAN TERHADAP DUGAAN AWAL

Seorang penulis lain di De Locomotief telah menolak dugaan bahwa pabrik gula di sekitar lokasi terlibat. Wawancara dengan penduduk desa juga menegaskan hal itu. Darmodjojo.(Dhermojoyo), tokoh utama peristiwa ini, justru dikenal memiliki hubungan baik dengan pihak pabrik. Ia seorang tuan tanah kaya, pemilik banyak ternak, dengan penghasilan besar, serta diyakini memiliki kesaktian (kucat) untuk memenuhi keinginan orang. Oleh karena itu, tidak masuk akal bila perlawanan dipicu oleh tekanan dari pabrik gula.

Dugaan lain adalah beban kerja rodi atau kewajiban desa, namun juga tidak terbukti. Ada pula anggapan bahwa Darmodjojo kecewa karena ambisi politiknya gagal, meskipun hal ini hanya mungkin menjadi faktor sampingan, bukan penyebab utama.

FAKTOR MIMPI

Yang paling dianggap masuk akal adalah soal mimpi. Dalam penyelidikan resmi di Ngandjoek, arah pertanyaan banyak mengaitkan perlawanan dengan mimpi. Menurut pendapat umum di desa, salah satu anak Darmodjojo bermimpi bahwa ayahnya akan menjadi ratu dari bumi (disebut sebagai Sultan Turki). Darmodjojo sendiri tidak menanggapinya secara berlebihan. Namun, dalam penyelidikan resmi, saksi-saksi justru menyebut Darmodjojo mendeklarasikan diri sebagai RATU ADIL.

Kontradiksi ini berawal dari surat anonim kepada wedono sementara di Waroedjajeng (Warujayeng), yang menuduh Darmodjojo mengaku sebagai ratu adil dan akan mengadakan slametan pada 29 Januari. Surat tersebut membentuk opini yang kemudian dikonfirmasi secara sepihak dalam penyelidikan resmi. Karena pertanyaan penyidik diarahkan ke sana, penduduk pun memberikan jawaban yang sesuai dengan dugaan pemerintah.

SIAPA DARMODJOJO?

Darmodjojo berusia sekitar 65 tahun, seorang tuan tanah kaya dengan banyak ternak, enam istri, dan 21 anak. Selain dari pertanian, penghasilan besarnya berasal dari praktik spiritual yang berlandaskan kitab kuno Rodjokosmo. Kitab ini berisi cara berdoa agar permohonan dikabulkan.

Orang dari berbagai daerah datang kepadanya: perempuan yang ingin punya anak, pejabat desa yang ingin naik pangkat, orang yang mencari keberuntungan, hingga siapa pun yang membutuhkan. Mereka membawa ayam putih, doa, atau jamu buatan Darmodjojo. Ia bahkan membuka “sekolah” untuk murid-muridnya. Setelah cukup menguasai teori, murid harus memberi persembahan berupa anak sapi dan kerbau agar bisa lanjut ke tahap praktik.

Pemerintah kolonial sudah lama mengawasi aktivitasnya, khawatir bila ajarannya berbahaya. Namun, hasil pengawasan menunjukkan kegiatannya hanya bersifat keagamaan, sehingga tidak dianggap mengancam.

FAKTA-FAKTA TENTANG DARMODJOJO

Ambisi Politik dan Permusuhan

Darmodjojo pernah mencalonkan diri sebagai kepala desa, namun kalah. Kekalahan itu menimbulkan permusuhan mendalam antara dirinya dan kepala desa, yang diperkuat dengan intrik saling menjatuhkan. Darmodjojo selalu kalah karena dua hal:

1. Sulit bagi seorang pribumi melawan pejabat pemerintah, sekalipun rendah kedudukannya.
2. Darmodjojo tidak populer di desanya, sehingga tidak punya banyak pengikut.

Kepala desa beberapa kali berhasil memojokkannya, antara lain:

• Darmodjojo didenda 25 gulden karena menyembelih kerbau betina tanpa izin.
• Ia dituduh menggunakan kayu tanpa izin resmi untuk membangun rumah.

Bagi seorang kaya, perlakuan ini memalukan. Akibatnya, kebencian Darmodjojo dan keluarganya terhadap kepala desa semakin mendalam.

SLAMETAN TAHUNAN DAN MIMPI

Darmodjojo rutin mengadakan slametan besar di bulan Besar, menyembelih beberapa kerbau, dan mengundang keluarga serta murid-muridnya. Tahun itu pun ia berniat mengadakan acara serupa. Namun, beredar cerita tentang mimpi bahwa ia akan menjadi raja.

Meski Darmodjojo sendiri tidak menaruh arti pada mimpi itu, musuh-musuhnya memanfaatkan kesempatan ini.

• Pemerintah Eropa sudah curiga pada perkumpulan besar.
• Cerita mimpi menambah alasan untuk menudingnya.

Kondisi ini menjadi celah bagi lawan-lawan Darmodjojo untuk menjebaknya.

SURAT ANONIM DAN PERAN APARAT DESA

Asisten wedono Baletoeri (Baleturi), seorang pejabat muda berusia 30 tahun yang menjabat wedono sementara di Waroedjajeng (Warujayengl, menerima surat anonim. Surat itu menyebut Darmodjojo mengaku sebagai ratu adil dan hendak mengadakan slametan.

Ia segera bergerak ke Barong, menemui kepala desa, lalu mengirim perangkat desa , yang juga musuh Darmodjojo , sebagai mata-mata. Polisi ditempatkan di sekitar rumah Darmodjojo.

Laporan mata-mata menyebut:

• Banyak orang sudah berkumpul di rumah Darmodjojo.
• Ia tidak berhasil menemui Darmodjojo karena dicegah murid-murid yang bahkan menghunus senjata.

Laporan itu membuat seolah pemberontakan nyata, meski kebenarannya tidak jelas. Bisa jadi memang ada murid bersenjata, atau justru karena provokasi si mata-mata.

TUDUHAN SENJATA

Kemudian muncul tuduhan bahwa Darmodjojo menimbun senjata. Faktanya, yang ditemukan hanyalah senjata tajam, antara lain:

26 keris
5 tombak
9 golok
2 mata tombak
3 pedang
5 pisau kecil
1 paoblat (pedang besar)
1 senapan tua dengan peluru berkarat
Beberapa palu, pentungan, serta peralatan bengkel dari pandai besinya.

Mengingat keris dan tombak lazim dimiliki masyarakat pribumi, dan banyak orang hadir di slametan, jumlah itu masih wajar. Sulit dianggap bukti bahwa Darmodjojo menyiapkan pemberontakan.

KESIMPULAN

1. Permusuhan pribadi antara Darmodjojo dan kepala desa menjadi faktor utama yang melatarbelakangi.
2. Slametan yang dilakukan adalah tradisi tahunan, bukan kegiatan politik.
3. Cerita mimpi dipelintir untuk menuduh Darmodjojo hendak memberontak.
4. Aparat desa dan polisi bertindak berdasarkan laporan mata-mata yang meragukan.
5. Senjata yang ditemukan tidak cukup kuat dijadikan bukti pemberontakan.

Keseluruhan peristiwa ini lebih tepat dipandang sebagai hasil intrik, permusuhan pribadi, dan salah tafsir, yang kemudian berujung pada tragedi berdarah.

Sumber: Surat Kabar Sumatra-Bode, 18 Februari 1907 (diterjemahkan sesuai tulisan aslinya).
Dari sumber lain Surat Kabar De Sumatra Post , 5 Februari 1910 kutipannya sebagai berikut : 

Akibat peristiwa itu tercatat 15 orang tewas, 7 luka berat, dan 66 orang ditangkap, di antaranya sekitar 50 perempuan dan anak-anak.

Pasukan dari Surabaya dikirim. Asisten Residen segera berangkat menuju Barong bersama polisi, dan kemudian bergabung dengan pasukan yang baru tiba di bawah pimpinan Letnan Haldenborg.

Asisten Residen dan Bupati, ketika tiba di halaman rumah tersangka utama, mendapat perlakuan kasar berupa lemparan batu dari para pengikut Darmodjojo. Hal ini kemudian disusul serangan dari sekitar 40 orang pribumi bersenjata. Para pejabat tidak sanggup bertahan melawan jumlah yang lebih besar, sedangkan polisi pun tidak mampu mengimbangi. Mereka akhirnya harus mundur, namun tidak tanpa korban.

Asisten Residen mengalami luka parah, seorang wedono terbunuh, seorang asisten wedono juga tewas, dan seorang wedono lain terbunuh pula. Di pihak pemerintah tercatat lima korban jiwa dan sebelas orang luka-luka. Sementara itu beberapa pengikut pemberontak juga berhasil dilumpuhkan.


Penulis: John.