Sabtu, 09 Agustus 2025

LATAR SEJARAH PEMBANGUNAN JEMBATAN LAMA KERTOSONO

LATAR SEJARAH PEMBANGUNAN JEMBATAN LAMA KERTOSONO

Pendahuluan 

Kertosono disebut juga sebagai titik penting di Jawa Timur. Hal ini karena Kertosono terletak di dekat Sungai Brantas dan di antara tiga gunung, yaitu Pegunungan Pandan/Kendeng Purba di sebelah Utara, Gunung Kelud di sebelah Timur dan Gunung Wilis di sebelah Barat yang menjadikan daerah ini subur dan sangat menguntungkan (Ardhana, Setiawan, dan Sulandjari, 2017). Kertosono dipisahkan oleh Sungai Brantas, sehingga diperlukan jembatan sebagai penghubung wilayah. Sebelum didirikan jembatan lama di atas Sungai Brantas, jalur yang dapat dipakai adalah melalui jembatan rel kereta api di sebelah utaranya maupun perahu getek sebagai media penyeberangan yang lebih menyulitkan terutama di saat musim kering. Pada tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda telah merencanakan pembangunan sebuah jembatan di atas Sungai Brantas Kertosono yang panjangnya mencapai 670 kaki dan dananya sudah dipersiapkan 409.000 Gulden (Koran Locomotif edisi 17-05-1920). Adapun rencana pemanfaatannya pada tahun 1921. 

Sungai Brantas memiliki aliran yang deras dan volume air yang banyak, sehingga diperlukan sebuah jembatan yang tidak menghambat aliran sungai. Jeram di antara tiang-tiang yang dibangun dapat mengakibatkan amblesnya tiang karena dasar sungai yang berpasir. Hal lain yang harus diperhatikan yaitu pembendungan dan pengeringan lubang fondasi untuk tiang penyangga dapat menimbulkan masalah karena dasar sungai yang berpasir. Kondisi yang demikian ini tentu akan menjadi pertimbangan dalam proses pembangunannya. 
Sebelum terbangunnya jembatan lama Kertosono, maka jalur darat dengan kendaraan untuk menuju Nganjuk, Madiun dan Surakarta harus memutar melalui Kediri yang telah terbangun jembatan lebih dahulu. Kondisi yang demikian tentunya tidak praktis dan efisien, tidak hemat waktu maupun biaya. Kalaupun memaksa menggunakan jasa penyeberangan kapal/getek, tentu hal ini akan mengakibatkan tingginya biaya sewa kapal/getek penyeberangan. Itulah sebabnya Pemerintah Hindia Belanda menganggap penting pembangunan jembatan darat Kertosono setelah dirampungkannya jembatan rel kereta api pada era 1880-an. 


LATAR SEJARAH JEMBATAN LAMA KERTOSONO.

Profesor P.J, Veth menulis dalam bukunya Java jilid tiga, tahun 1882, menuliskan tentang Kertosono saat itu sebagai berikut : Kertosono adalah titik penting bagi lalu lintas dan perdagangan dalam negeri, dan akan menjadi lebih penting lagi jika jalur kereta api sudah siap, yang nantinya akan menghubungkan tempat itu dengan Madiun, Kertosono dan Mojokerto. Kota ini kelak akan menjadi titik utama dalam jaringan kereta api di Jawa. Jembatan yang sedang dibangun di sini melintasi Sungai Brantas yang lebar dan berarus deras, saat ini hampir selesai. Pembangunan jembatan ini dipuji sebagai prestasi teknik hidrolik yang mengagumkan. 
Prediksi Prof Veth sebagian telah menjadi kenyataan (tahun 1925). Kertosono telah menjadi persimpangan kereta api yang sangat penting, terutama pada saat bisnis gula sedang naik. Kawasan ini menjadi sangat ramai, puluhan kereta api datang dan berangkat serta ratusan gerbong bermuatan gula didatangkan dari Madiun dan dari jalur Kertosono, semua diberangkatkan menuju ke Kalimas dengan kereta malam. Ada banyak aktivitas di pasar, namun Kertosono tetap menjadi pusatnya, meski ada banyak perdagangan yang terjadi.
Valentjin (penulis Belanda pada tahun 1880) sudah bercerita tentang perdagangan beras yang besar, pasar yang indah, alun-alun yang indah, dan Masjid Kertosono yang tertata rapi dan tidak ada satu pun dari keunggulan tersebut yang hilang di kemudian hari. Manfaat yang diceritakan Valentjin tentang alun-alun yang bersih dan masjid yang rapi sudah tidak ada lagi. Beberapa tahun yang lalu masjid itu tersapu banjir berat, juga sebagian wilayah Kertosono lainnya maupun alun alun yang berada di depan stasiun sekarang. Setelah banjir besar itu, dibangunlah masjid kecil di sebelah Selatan rel kereta api. 

Di masa lalu, pelayaran di Sungai Brantas sanggatlah ramai, dilintasi oleh sampan dan kapal yang sangat penting. Mereka membawa berbagai bahan pangan melalui Sungai Brantas. Bahkan hingga ke Surakarta, perdagangan dilakukan dengan sampan. Kapal-kapal tersebut membawa menyusuri Sungai Brantas dan juga Bengawan Solo. Pada masa itu Kertosono lebih penting sebagai pusat perdagangan. Dari catatan Profesor P.J, Veth, terlihat bahwa peran Kertosono sebagai titik penting lalu lintas perdagangan dengan terbangunnya jembatan kereta api. Hal ini terbukti bahwa Kertosono pada akhirnya telah menjadi persimpangan kereta api yang sangat penting, terutama pada saat bisnis gula sedang naik. Jembatan kereta api menjadi sarana vital bagi perjalanan sebuah kereta. Pembangunan jembatan kereta api menjadi proyek tersendiri yang sangat penting dalam berbagai era. Tanpa adanya jembatan kereta api, maka tidak mungkin lalu lintas perjalanan perdagangan menjadi lancar. Pembangunan jembatan kereta api di Kertosono (Nganjuk) awalnya dibangun pada periode kolonial, tepatnya mulai tahun 1878-1880. Setelah terbangunnya jembatan kereta api, Pemerintah Hindia Belanda menganggap penting pula dalam membangun jembatan jalan darat. Maka dipilihlah lokasi pembangunannya di selatan dari jembatan kereta api karena nantinya akan menghubungkan poros jalan dari Jombang-Kertosono ke Nganjuk, Madiun dan Surakarta. 

Sebelum tahun 1900, transportasi yang digunakan ada dua macam yaitu darat dan air (Pradana dan Wisnu, 2018: 206). Sungai Brantas merupakan sarana transportasi air yang digunakan sebagai jalur perdagangan oleh masyarakat. Alat transportasi yang digunakan berupa perahu dan kapal, karena dapat mengangkut barang dan hasil bumi dalam jumlah besar (Besari, 2008: 24). Pada umumnya alat transportasi darat yang digunakan adalah delman dan dokar (Pradana dan Wisnu, 2018: 206) maupun mobil yang sudah mulai ada. Jembatan merupakan salah satu prasarana transportasi darat yang digunakan menghubungkan wilayah yang dipisahkan oleh sungai, laut ataupun danau. Selain itu, Surat Kabar Belanda telah memberitakan bahwa sebelum tahun 1910 Sungai Brantas masih dilalui kapal-kapal kecil. Terkait jembatan tersebut, diterangkan bahwa Jembatan Kertosono dibangun sekitar 14 tahun lalu. Surat kabar ini terbit 3 Maret 1938, 14 tahun sebelumnya berarti 1924. (https://www.delpher.nl/ nl/kranten/view? query=Brug+Over+den+Brantas+te+ Kertosono&coll=ddd&identifier=MMKB19:000476051:mpeg21:a00150&resultsidentifier=MMKB19:000476051:mpeg21:a00150&rowid=5).

Jembatan Lama dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk memperlancar lalu lintas di groote postweg (jalan pos utama) yang terpisah oleh Sungai Brantas. Jembatan Lama dibangun untuk menghubungkan akses jalan utama menuju Surabaya dan Madiun. Jalur ini sebelumnya telah digunakan oleh masyarakat pribumi untuk menuju Kadipaten Kertosono, Mojokerto, Pace, dan Berbek (Munif, 2023). Pada tahun 1854 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun sebuah postweg melalui rute selatan melewati Yogyakarta, Surakarta, dan Kertosono (Raap, 2015: 171). Istilah “post” pada postweg di Kertosono tidak terbatas dalam kegiatan surat-menyurat, namun juga memiliki makna bahwa jalur tersebut sebagai pos keamanan atau jalur militer di bawah pengawasan pemerintah Hindia Belanda. Berdirinya jembatan ini mengalihkan fungsi benteng karena pengawasan lalu lintas dan keamanan dilakukan di jembatan (Munif, 2023). 
Mengutip dari Journal of Indonesian History Volume 12 Nomor 1 (2024), 65-74, bahwasanya sejak abad 15 Sungai Brantas merupakan sarana transportasi air yang digunakan untuk mengangkut barang, orang dan hasil-hasil ekonomi menuju pusat perdagangan di Pelabuhan Besar Surabaya (Rimasari, 2021:274). Alat transportasi yang digunakan pada umumnya adalah perahu tambangan. Menjelang musim kemarau, pengangkutan barang dan hasil bumi menggunakan perahu dianggap kurang efektif karena ketika musim kemarau hanya perahu- perahu kecil yang dapat digunakan untuk menyeberangi sungai (Munif, 2023). 

Sementara pada tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda mulai berkuasa penuh di Pulau Jawa (Ricklefs, 2016: 182). Pemerintah Hindia Belanda banyak melakukan pembangunan termasuk di Kertosono sebagai sarana penunjang untuk memperbaiki keuangan negaranya yang banyak terkuras setelah Perang Jawa. Pembangunan dimulai dari perbaikan jalan-jalan kecil yang sempit dan rusak, kemudian sisi-sisinya dibersihkan dari semak belukar sehingga jalan menuju antar kabupaten lebih mudah untuk dilalui. Pembangunan tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah Hindia Belanda agar infrastruktur lebih berkembang. Pembangunan terus berlanjut hingga pada tahun 1855 pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jembatan di atas Sungai Brantas sebagai groote postweg atau jalur pos utama menuju Surabaya dan Madiun (Velzen, 1877: 65) yang merupakan jembatan pertama yang melalui sungai Brantas. Groote postweg merupakan jalur yang digunakan sebagai jalan utama dalam pengiriman pos dengan tujuan penyampaian informasi menjadi lebih cepat dan mudah (Nas and Pratiwo, 2020: 712). 

Jembatan Lama Kediri (Brug Over den Brantas te Kertosono) merupakan jembatan di Jawa yang pertama kali dibangun dengan konstruksi besi dan merupakan sebuah karya yang luar biasa pada pertengahan abad 19 (Raap, 2015: 221). Jembatan Lama menghubungkan kecamatan Mojoroto dan kecamatan Kota yang dipisahkan oleh Sungai Brantas. Jembatan Lama memiliki panjang 160 m, lebar 5,8 m, dan tinggi 7,5 m dari permukaan air (Tim Ahli Cagar Budaya, 2019: 2). Jembatan Lama dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pertahanan serta distribusi perdagangan bagi Pemerintah Hindia Belanda (Munif, 2023). Adanya Jembatan Lama menjadikan Kediri memiliki lebih banyak konektivitas dengan kota lainnya. Pembangunan Jembatan Lama juga membawa manfaat bagi masyarakat pribumi karena adanya jembatan mempermudah masyarakat dalam kegiatan transportasi menuju seberang sungai, khususnya bagi para pedagang. Pada kanan dan kiri jembatan terdapat trotoar yang dikhususkan untuk para pejalan kaki agar jembatan lebih mudah dan nyaman diseberangi (Stufkens, 1915). Dibangunnya Jembatan Lama memberi pengaruh yang besar bagi masyarakat serta pertumbuhan ekonomi dan kemajuan wilayah Kediri.

Demikian pula dengan pembangunan jembatan Kertosono juga dimaksudkan untuk selain mempermudah dan mempersingkat jalur pendistribusian hasil bumi maupun perdagangan dan juga untuk mendukung pertahanan Hindia Belanda. Selain itu untuk mencapai efektivitas dan efisiensi perjalanan, karena jika harus melalui Kertosono, maka perjalanan lebih jauh dan lama. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda bersedia mengeluarkan sekitar 490.000 gulden untuk membangun jembatan Kertosono, sebagaimana dikabarkan oleh koran Bataviaasch niewsblad saat itu melalui Aan de MV. Sar. Crt. yang terbit pada tanggal 4 April 1917. Walaupun sebelumnya sudah disediakan area bagi pejalan kaki pada jembatan kereta api, namun kondisinya yang belum memadai. Jembatan darat sangat diinginkan, mengingat saat itu jumlah mobil sudah semakin banyak. Pengangkutan hasil bumi dalam jumlah besar dengan menggunakan truk mulai terjadi, tentu saja membutuhkan sarana transportasi yang memandai agar dapat dilalui oleh mobil terutama menuju ke Surabaya yang merupakan pusat ekspor.

Kembali lagi menengok sejarah pembangunan jembatan lama Kediri, bahwa pada tanggal 16 Mei 1854, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah keputusan untuk membangun jembatan lengkung batu yang didesain oleh Kapten Van Deventer pada tahun 1855 dengan anggaran 128.891 Gulden (Velzen, 1877: 65). Di tengah pengerjaan jembatan, seorang Insinyur Departmen Pengelolaan Air ke-4 di Surabaya menyatakan beberapa keberatan pada tanggal 28 Juni 1858. Keberatan tersebut ditolak oleh Gubernur dan pembangunan tetap dilanjutkan hingga tanggal 29 September 1859, dengan hasil fondasi abutmen kiri telah selesai diikuti dengan pembangunan dinding depan dan sayap, serta pemancangan tiang pancang untuk abutmen kanan dan tiang pancang untuk dua pilar pertama (Kop, 2004: 102). Pembangunan jembatan dimulai lagi pada tanggal 18 September 1865 dan diperkirakan akan selesai pada tanggal 18 September 1867. Proyek tersebut mengalami keterlambatan akibat masalah teknis, sehingga baru pada tanggal 8 November 1867 sub strukturnya siap untuk direkam. Pada 11 Maret 1869 dilakukan uji coba pada jembatan dan jembatan dibuka untuk umum pada tanggal 18 Maret 1869 (Velzen, 1877: 67). Dari uraian tersebut diperoleh bahwa sangat dimungkinkan pembangunan jembatan lama Brantas di Kertosono juga masih dibawah Departmen Pengelolaan Air ke-4 di Surabaya. Dari informasi ini dapat ditelusuri selanjutnya Lembaga tersebut kemudian berubah menjadi Lembaga apa?. Dengan demikian kepemilikan aset awalnya bias ditelusuri.
Surat kabar De Locomotiv edisi 17 Mei 1920, memberitakan bahwa Pemerintah Hindia Belanda menyetujui pembangunan jembatan darat tetap dengan biaya diperkirakan sebesar 409.000 Gulden. Adapun lokasi pembangunannya berada di sebelah selatan jembatan kereta api. Hal ini tentu sesuai dengan kondisi lokasi yang tergambar oleh jembatan lama Kertosono saat ini yang tidak terlalu jauh dengan jembatan kereta api. Pembangunan jembatan diperkirakan dimulai pada tahun 1920 dengan diawali pengumpulan materialnya dan diharapkan selesai pada tahun 1921 (https://www.delpher.nl/nl/kranten/view?query=Brug+Over+den+Brantas+te+Kertosono&coll=ddd&identifier=MMKB23:001686025:mpeg21:a00019&resultsidentifier=MMKB23:001686025:mpeg21:a00019&rowid=3)
Dari berita surat kabar Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch sch-Indie yang terbit pada tanggal 7 Maret 1925, memberitakan bahwa jembatan Kertosono sudah dapat dilalui pada tahun 1924. Berdasarkan keterangan tersebut terlihat bahwa pembangunan jembatan sangat dimungkinkan mengalami kemoloran dari waktu yang ditentukan (1921) dikarenakan berbagai hal. Selain itu pembangunan jembatan tersebut ternyata belum mampu mengembalikan Kertosono sebagai daerah perdagangan yang ramai seperti sebelumnya. (https://www.delpher.nl/nl/kranten /view?query=Brug+Over+den+Brantas+te+Kertosono&coll=ddd&identifier=ddd:011037769:mpeg21:a0057&resultsidentifier=ddd:011037769:mpeg21:a0057&rowid=2)
Pada sisi lainnya terkonfirmasi berdasarkan hasil penelitian komunitas Roodebrug bersama Marjolein van Pagee (Cucu dari Van Pagee, Van Pagee yang ikut terlibat langsung kejadian di Kerosono dan Baron pada saat Agresi II Belanda) bahwa pada tahun 2012 telah melakukan wawancara terhadap beberapa saksi mata yang masih hidup dari Indonesia. Salah satunya adalah purnawirawan Letnan Siswojo yang adalah pelaku pemasangan bom/ranjau di jembatan lama Kertosono saat itu di masa agresi belanda ke II pada tahun 1949. Jembatan tersebut mencoba diledakkan dengan beberapa ranjau akan tetapi tak jua roboh karena sangat kokohnya bangunannya. “Awal penemuan lokasi ini adalah ketika saya bersama Marjolein van Pagee dan Aftonun selaku fotografer menelusuri jalur pertempuran Marinir Belanda yang kebetulan juga belakangan kami ketahui bahwa almarhum kakek saya dulu juga bertempur di jalur yang sama pada tahun 1949. Faktanya adalah ada bagian brigade Marinir Belanda yang berperang dengan unit gerilya kakek saya, namun apakah mereka pernah berhadapan secara langsung,kami tidak tahu”. Demikian ujar salah seorang yang terlibat dalam liputan penelusuran tersebut.

Pada kemudian hari Tim Penelusuran juga mendapatkan foto kuno yaitu berupa iringan panser Belanda dari Resimen Kavaleri Huzaren van Boreel melewati jembatan kertosono pada awal 1949 dimana dalam situs website dijelaskan bahwa resimen kavaleri ini bertemu dengan brigade Marinir di Jembatan Kertosono. (http://www.collectie.legermuseum.nl/strategion/strategion/i003921.html).Sebagaimana diceritakan di atas bahwa peledakan jembatan dengan bom ranjau dimaksudkan agar pasukan Belanda dari arah Surabaya tidak dapat masuk ke wilayah Nganjuk. Bahkan pemasangan ranjau dilakukan para pejuang Indonesia hampir di sepanjang jalan antara Kertosono hingga ke Baron. Salah satu akhirnya salah satunya mampu melumpuhkan panser dan mengenai tentara Belanda yang menyebabkannya tewas. Karena hal inilah, pasukan Belanda marah dan melakukan sweeping kepada masyarakat yang diperkirakan adalah simpatisan maupun juga bagian dari para pejuang. Pada akhirnya beberapa warga masyarakat ada yang menjadi korban meninggal akibat kemarahan pasukan Belanda tersebut hingga diperkirakan korban yang ada berjumlah hampir 50 orang dari 3 desa di wilayah barat dari Kertosono tetapnya Desa Sedan, Gebang Kerep dan Plimping yang semua masuk di Kecamatan Baron. Kejadian tersebut masih ada banyak saksi hidup yang dapat diwawancarai oleh Tim Penelusuran. Itulah sebabnya mengapa jembatan Kertosono lama juga dianggap penting oleh masyarakat, karena menjadi saksi bisu atas kekejaman tentara Belanda kepada warga Indonesia. Jembatan Kertosono dianggap memiliki kenangan dan nilai sejarah perjuangan masyarakat Nganjuk terutama Kertosono. Itulah sebabnya walaupun kondisinya saat ini sedang dalam keadaan yang mengenaskan, masyarakat tetap meminta jembatan tersebut terus berdiri tegak untuk menjadi saksi atas perjuangan keluarga mereka.
Pada keadaan lain, apabila perbaikan jembatan dilakukan melalui kegiatan restorasi, tentu juga tidak mudah dan membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Namun demikian karena besarnya nilai sejarah yang ada tentunya juga harus menjadi pertimbangan semua pihak yang akan terlibat. Sebagaimana pesan Bung Karno sebagai Proklamator bangsa Indonesia yaitu “Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Dari padanya kita dapat belajar untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Journal of Indonesian History, Artikel P-ISSN 2252-6633 | E-ISSN 2549-0370 : Brug Over and Brantas te Kertosono as Regional Liaison in 1855-1912 



Kesimpulan :
Kertosono memiliki wilayah yang dilewati oleh Sungai Brantas, sehingga wilayahnya terbagi menjadi barat yang dapat menuju Madiun, Kartasura dan Yogyakarta dan timur menuju Surabaya, Malang hingga Banyuwangi. Untuk menghubungkan dua wilayah tersebut diperlukan sebuah jembatan yang dapat mempermudah transportasi. Infrastruktur jalan maupun jembatan sangat diperlukan untuk mempermudah transportasi. Infrastruktur yang memandai akan memberikan banyak manfaat terhadap perkembangan dan perekonomian. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda membangun Jembatan Lama di Kertosono yang mulai beroperasi pada tahun 1924. 
Sesuai uraian di atas dan merujuk pada pasal 5 Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya bahwa jembatan lama Kertosono telah memenuhi kriteria : berusia 50 tahun atau lebih, mewakili gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, maka dapat dikatakan bahwa jembatan lama Kertosono layak sebagai Cagar Budaya atau Obyek Diduga Cagar Budaya. Oleh karenanya perlu adanya kaijan lebih lanjut terkait jembatan lama Kertosono oleh TACB Provinsi mengingat keberadaan jembatan ini menghubungkan dua wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kediri. Perundangan utama yang mengatur Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Registrasi Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya. Dalam PP No. 1 Tahun 2022 mengatur pelindungan terhadap ODCB, yang diberlakukan sama sebagai cagar budaya.
Sebagai ODCB (Obyek Diduga Cagar Budaya), jembatan Kertosono lama layak untuk dipertahankan. Perlakuan perbaikan dengan metode restorasi walaupun mungkin sangat mahal, sangat dimungkinkan agar jembatan tersebut dapat difungsikan lagi minimal bagi para pejalan kaki maupun pengguna kendaraan roda dua yaitu motor dan sepeda. 

Referensi Arsip : 
Bleeker, Dr. P. (1850). “Fragmenten Eener Reis over Java”. 
“Brantasbrug Te Kertosono”. http://hdl.handle.net/1887.1/item:839781. 
“De Ingenieur Organ Der Vereeniging van Burgerlijke Ingenieurs” (1899). 
“Een vaste brug voor rij-en. voertuigen over de Brantas. bij Kertosono". De Locomotif,17 Mei 1920.
“Een vaste brug over de Brantas”, Bataviaasch Niews Blad, 4 April 1917 
“Grote Ijzeren Brug over Een Rivier Te Kertosono”. http://hdl.handle.net/1887.1/item:803322. 
Inventaris van Het Archief van Het Ministerie van Koloniën, 1814-1849. 
Kolff, G., and Co. (1906). “Onderzoek Naar de Mindere Welvaart Dek Indlansche Bevolking Op Java En Madoera”. 
Stufkens, Th. E. (1915). “Van Hier En Daar.” De Preager Bode. 
Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur. (2019). “Naskah Usulan Penetapan Jembatan Lama Kertosono (Brug Over Den Brantas Te Kertosono)”.


Jembatan Lama dibangun sebagai penghubung jalan pos jalur Surabaya dan Madiun. Jembatan Lama merupakan salah satu fasilitas yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk kelancaran transportasi, komunikasi, dan distribusi perdagangan. Jembatan Lama juga digunakan sebagai jalur militer untuk pertahanan dan keamanan. Adanya jembatan membuat penyeberangan semakin lancar. Jembatan Lama merupakan salah satu bentuk modernisasi Belanda yang ada di Kertosono. Walaupun saat ini kondisinya telah rusak, namun Jembatan Kertosono memiliki nilai kesejarahan yang luar biasa terutama pada saat Agresi Belanda II.

Penulis : Amin Fuadi