Selasa, 19 Agustus 2025

Aksi Heroik Kotasejuk di Jembatan Lama Kertosono

Merah Putih Berkibar di Hari Kemerdekaan ke-80 RI

Dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, dua anggota Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk (Kotasejuk), Saiful dan Supriyanto, melakukan aksi berani dengan memanjat Jembatan Lama Kertosono (JLK) untuk mengibarkan bendera Merah Putih.

Aksi yang berlangsung Minggu (17/8/2025) itu sontak menyita perhatian masyarakat sekitar dan para pengguna jalan yang melintas di bantaran Sungai Brantas. Sorak-sorai “Merdeka!” dari warga pun menggema sebagai wujud apresiasi atas keberanian mereka.

Saiful menegaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk penghormatan kepada para pejuang Nganjuk yang pernah bertempur melawan penjajah Belanda di sekitar Jembatan Lama Kertosono.“Tidak takut, wong jembatan ini masih kuat meskipun miring. Kami lakukan ini untuk menghormati pahlawan yang berjuang di sini melawan penjajah,” ungkapnya.

Selain itu, aksi pengibaran bendera juga menjadi simbol penolakan terhadap wacana perobohan JLK yang marak dibicarakan dalam beberapa bulan terakhir. “Apakah tidak bisa membangun tanpa menghilangkan jejak sejarah? Target jembatan baru kan untuk pejalan kaki dan roda dua, bisa saja dibangun di sisi jembatan lama,” tambah Saiful.

Jembatan Bersejarah

Jembatan Lama Kertosono bukan sekadar infrastruktur, tetapi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa. Dibangun pada era kolonial Belanda tahun 1920, jembatan ini pernah menjadi jalur vital dan strategis. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, pasukan Belanda sempat berusaha meledakkannya untuk menghalau konvoi tentara Jepang dari arah barat, meski upaya itu hanya membuat jembatan terendam air setinggi 30–60 sentimeter.

Pada Agresi Militer Belanda II tahun 1949, pejuang Nganjuk kembali berusaha merobohkan jembatan dengan 3,5 kwintal bahan peledak. Namun, ledakan hanya menimbulkan kerusakan kecil pada lantai jembatan. Hingga kini, meski usianya lebih dari seabad, Jembatan Lama Kertosono masih berdiri kokoh walau dalam kondisi memprihatinkan.

Komitmen Kotasejuk

Kotasejuk meyakini bahwa pelestarian jejak sejarah seperti JLK adalah bagian penting dalam menjaga identitas dan warisan bangsa. Aksi pengibaran bendera Merah Putih di atas jembatan ini menjadi simbol perlawanan terhadap lupa, sekaligus pengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini lahir dari perjuangan panjang dan penuh pengorbanan.

Penulis : John

Minggu, 17 Agustus 2025

Upacara HUT ke-80 RI di Bawah Jembatan Lama Kertosono: Menggugah Kesadaran Sejarah


Upacara HUT ke-80 RI di Bawah Jembatan Lama Kertosono: Menggugah Kesadaran Sejarah

Tepat pada 17 Agustus 2025, Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk (KOTASEJUK) menggelar upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Berbeda dari umumnya, upacara tahun ini dilaksanakan di bantaran Sungai Brantas, tepat di bawah Jembatan Lama Kertosono (JLK).

Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan. Jembatan berusia lebih dari seratus tahun itu menyimpan nilai sejarah yang penting. Pada masa Agresi Militer Belanda II tahun 1949, JLK menjadi saksi perjuangan rakyat Nganjuk dalam menghadang pasukan Belanda. Selain itu, jembatan yang dibangun pada tahun 1920 di era kolonial Belanda tersebut juga tercatat sebagai salah satu obyek diduga cagar budaya.

Upacara berlangsung khidmat dan penuh makna. Kotasejuk didukung berbagai komunitas dan paguyuban, di antaranya Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), Paguyuban Trah Mpu Sindhok, Paguyuban Trah Bupati Nganjuk, Komunitas Sepeda Tua Indonesia (Kosti), Paguyuban Abdi Keraton Surakarta (Pakasa), serta warga masyarakat sekitar.

Humas KOTASEJUK, Sukadi, menekankan pentingnya menjaga warisan sejarah lokal. “Jembatan Lama Kertosono punya nilai sejarah tinggi. Kami berharap masyarakat tergugah kesadarannya untuk melestarikan, bukan merobohkan. Jika memang perlu membangun jembatan baru, bisa dilakukan di sisi kanan atau kiri tanpa menghapus jejak sejarah,” ungkapnya.

Momen pengibaran bendera merah putih menjadi saat yang mengharukan. Beberapa peserta bahkan nyaris menitikkan air mata ketika lagu Indonesia Raya berkumandang, sambil membayangkan perjuangan para pahlawan di lokasi yang sama puluhan tahun silam.

Bagi Kotasejuk, upacara kemerdekaan selalu menjadi ruang untuk mengingat sekaligus merawat sejarah. Tahun sebelumnya, upacara digelar di Candi Lor dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bagian dari pelestarian budaya lokal.

Dokumentasi Foto Kegiatan 
Penulis : John

Selasa, 12 Agustus 2025

Reuni 7 Klenteng Bersaudara: Kiemsian Dewi Kwan Im Naik Tahta di Klenteng Hok Yoe Kiong Sukomoro


Dalam suasana khidmat dan penuh warna tradisi, Klenteng Hok Yoe Kiong Sukomoro untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah jie hwie atau cee ui, sebuah acara anjangsana yang di kalangan umat Tionghoa dikenal sebagai reuni kiemsin. Momen bersejarah ini digelar pada Minggu, 10 Agustus 2025, menandai kembalinya persaudaraan “7 Klenteng Bersaudara” yang pernah berjaya di era 1960 - 1970-an.

Persaudaraan ini lahir dari semangat gotong royong dan kesetaraan antar rumah ibadah, melintasi batas wilayah demi mempererat tali silaturahmi. Kini, setelah puluhan tahun, semangat itu dihidupkan kembali di bawah payung kebersamaan yang sama.

Prosesi Sakral: Kiemsian Dewi Kwan Im Menghuni Tahta Baru

Puncak acara diwarnai prosesi kedatangan Kiemsian Dewi Kwan Im dari TITD Sri Kukus Redjo, Ungaran, Semarang, menuju altar di Klenteng Hok Yoe Kiong Sukomoro. Patung suci yang diyakini membawa berkah ini diiringi musik barongsai yang ritmis, denting gong, dan tabuhan gendang, sebelum akhirnya resmi bertahta di altar khusus Dewi Kwan Im.
Prosesi ini bukan sekadar ritual, melainkan simbol penghormatan lintas klenteng dan penguatan ikatan spiritual antar umat.

Tujuh Klenteng Bersaudara

Persaudaraan yang kembali dipersatukan ini terdiri dari:

1. TITD Hok Yoe Kiong Nganjuk
2. TITD Sam Poo Sing Bio Surabaya
3. TITD Xiang You Hui Surabaya
4. TITD Tjong Hok Kiong Sidoarjo
5. TITD Kim Hin Kiong Gresik
6. TITD Kwan Sing Bio Tuban
7. TITD Kwan Im Tong Batu Malang

Selain klenteng besar, acara ini juga diramaikan kehadiran cetya atau tempat ibadah rumahan dari berbagai daerah, termasuk Gresik, Sidoarjo, Surabaya, Bojonegoro, dan Nganjuk. Mereka turut serta dalam doa bersama sebagai inti dari pertemuan ini.

Makna dan Pesan dari Para Pemuka Umat

Ketua Klenteng Hok Yoe Kiong Sukomoro, Roy Sugianto, menyampaikan rasa syukurnya.

“Acara ini sederhana namun sarat makna. Semua dikemas sesuai tema dan dihadiri pengurus klenteng serta cetya dari berbagai daerah. Ini sejarah baru bagi kami,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua TITD Hwie Tek Bio Semarang, Lie Vincent Ivan Haryanto, menjelaskan filosofi prosesi tersebut.

“Kehadiran Dewi Kwan Im dari TITD Sri Kukus Redjo Ungaran untuk bertahta di altar Klenteng Hok Yoe Kiong Sukomoro adalah simbol persaudaraan dan penghormatan antar tempat ibadah,” ungkapnya.

Momen Persatuan yang Diharapkan Terus Hidup

Acara yang berlangsung hingga sore hari ini ditutup dengan sembahyang bersama, memperkuat tekad untuk menjaga hubungan lintas wilayah, lintas klenteng, dan lintas generasi.
Bagi KOTASEJUK, momen ini bukan hanya catatan kegiatan keagamaan, tetapi juga bagian dari warisan budaya hidup (living heritage) yang membentuk identitas keberagaman di Nganjuk dan sekitarnya.

Dengan semangat “7 Klenteng Bersaudara” yang kembali menyala, Sukomoro telah menjadi saksi bahwa persatuan umat dapat tumbuh dari akar tradisi, menembus sekat jarak dan waktu.

Sabtu, 09 Agustus 2025

LATAR SEJARAH PEMBANGUNAN JEMBATAN LAMA KERTOSONO

LATAR SEJARAH PEMBANGUNAN JEMBATAN LAMA KERTOSONO

Pendahuluan 

Kertosono disebut juga sebagai titik penting di Jawa Timur. Hal ini karena Kertosono terletak di dekat Sungai Brantas dan di antara tiga gunung, yaitu Pegunungan Pandan/Kendeng Purba di sebelah Utara, Gunung Kelud di sebelah Timur dan Gunung Wilis di sebelah Barat yang menjadikan daerah ini subur dan sangat menguntungkan (Ardhana, Setiawan, dan Sulandjari, 2017). Kertosono dipisahkan oleh Sungai Brantas, sehingga diperlukan jembatan sebagai penghubung wilayah. Sebelum didirikan jembatan lama di atas Sungai Brantas, jalur yang dapat dipakai adalah melalui jembatan rel kereta api di sebelah utaranya maupun perahu getek sebagai media penyeberangan yang lebih menyulitkan terutama di saat musim kering. Pada tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda telah merencanakan pembangunan sebuah jembatan di atas Sungai Brantas Kertosono yang panjangnya mencapai 670 kaki dan dananya sudah dipersiapkan 409.000 Gulden (Koran Locomotif edisi 17-05-1920). Adapun rencana pemanfaatannya pada tahun 1921. 

Sungai Brantas memiliki aliran yang deras dan volume air yang banyak, sehingga diperlukan sebuah jembatan yang tidak menghambat aliran sungai. Jeram di antara tiang-tiang yang dibangun dapat mengakibatkan amblesnya tiang karena dasar sungai yang berpasir. Hal lain yang harus diperhatikan yaitu pembendungan dan pengeringan lubang fondasi untuk tiang penyangga dapat menimbulkan masalah karena dasar sungai yang berpasir. Kondisi yang demikian ini tentu akan menjadi pertimbangan dalam proses pembangunannya. 
Sebelum terbangunnya jembatan lama Kertosono, maka jalur darat dengan kendaraan untuk menuju Nganjuk, Madiun dan Surakarta harus memutar melalui Kediri yang telah terbangun jembatan lebih dahulu. Kondisi yang demikian tentunya tidak praktis dan efisien, tidak hemat waktu maupun biaya. Kalaupun memaksa menggunakan jasa penyeberangan kapal/getek, tentu hal ini akan mengakibatkan tingginya biaya sewa kapal/getek penyeberangan. Itulah sebabnya Pemerintah Hindia Belanda menganggap penting pembangunan jembatan darat Kertosono setelah dirampungkannya jembatan rel kereta api pada era 1880-an. 


LATAR SEJARAH JEMBATAN LAMA KERTOSONO.

Profesor P.J, Veth menulis dalam bukunya Java jilid tiga, tahun 1882, menuliskan tentang Kertosono saat itu sebagai berikut : Kertosono adalah titik penting bagi lalu lintas dan perdagangan dalam negeri, dan akan menjadi lebih penting lagi jika jalur kereta api sudah siap, yang nantinya akan menghubungkan tempat itu dengan Madiun, Kertosono dan Mojokerto. Kota ini kelak akan menjadi titik utama dalam jaringan kereta api di Jawa. Jembatan yang sedang dibangun di sini melintasi Sungai Brantas yang lebar dan berarus deras, saat ini hampir selesai. Pembangunan jembatan ini dipuji sebagai prestasi teknik hidrolik yang mengagumkan. 
Prediksi Prof Veth sebagian telah menjadi kenyataan (tahun 1925). Kertosono telah menjadi persimpangan kereta api yang sangat penting, terutama pada saat bisnis gula sedang naik. Kawasan ini menjadi sangat ramai, puluhan kereta api datang dan berangkat serta ratusan gerbong bermuatan gula didatangkan dari Madiun dan dari jalur Kertosono, semua diberangkatkan menuju ke Kalimas dengan kereta malam. Ada banyak aktivitas di pasar, namun Kertosono tetap menjadi pusatnya, meski ada banyak perdagangan yang terjadi.
Valentjin (penulis Belanda pada tahun 1880) sudah bercerita tentang perdagangan beras yang besar, pasar yang indah, alun-alun yang indah, dan Masjid Kertosono yang tertata rapi dan tidak ada satu pun dari keunggulan tersebut yang hilang di kemudian hari. Manfaat yang diceritakan Valentjin tentang alun-alun yang bersih dan masjid yang rapi sudah tidak ada lagi. Beberapa tahun yang lalu masjid itu tersapu banjir berat, juga sebagian wilayah Kertosono lainnya maupun alun alun yang berada di depan stasiun sekarang. Setelah banjir besar itu, dibangunlah masjid kecil di sebelah Selatan rel kereta api. 

Di masa lalu, pelayaran di Sungai Brantas sanggatlah ramai, dilintasi oleh sampan dan kapal yang sangat penting. Mereka membawa berbagai bahan pangan melalui Sungai Brantas. Bahkan hingga ke Surakarta, perdagangan dilakukan dengan sampan. Kapal-kapal tersebut membawa menyusuri Sungai Brantas dan juga Bengawan Solo. Pada masa itu Kertosono lebih penting sebagai pusat perdagangan. Dari catatan Profesor P.J, Veth, terlihat bahwa peran Kertosono sebagai titik penting lalu lintas perdagangan dengan terbangunnya jembatan kereta api. Hal ini terbukti bahwa Kertosono pada akhirnya telah menjadi persimpangan kereta api yang sangat penting, terutama pada saat bisnis gula sedang naik. Jembatan kereta api menjadi sarana vital bagi perjalanan sebuah kereta. Pembangunan jembatan kereta api menjadi proyek tersendiri yang sangat penting dalam berbagai era. Tanpa adanya jembatan kereta api, maka tidak mungkin lalu lintas perjalanan perdagangan menjadi lancar. Pembangunan jembatan kereta api di Kertosono (Nganjuk) awalnya dibangun pada periode kolonial, tepatnya mulai tahun 1878-1880. Setelah terbangunnya jembatan kereta api, Pemerintah Hindia Belanda menganggap penting pula dalam membangun jembatan jalan darat. Maka dipilihlah lokasi pembangunannya di selatan dari jembatan kereta api karena nantinya akan menghubungkan poros jalan dari Jombang-Kertosono ke Nganjuk, Madiun dan Surakarta. 

Sebelum tahun 1900, transportasi yang digunakan ada dua macam yaitu darat dan air (Pradana dan Wisnu, 2018: 206). Sungai Brantas merupakan sarana transportasi air yang digunakan sebagai jalur perdagangan oleh masyarakat. Alat transportasi yang digunakan berupa perahu dan kapal, karena dapat mengangkut barang dan hasil bumi dalam jumlah besar (Besari, 2008: 24). Pada umumnya alat transportasi darat yang digunakan adalah delman dan dokar (Pradana dan Wisnu, 2018: 206) maupun mobil yang sudah mulai ada. Jembatan merupakan salah satu prasarana transportasi darat yang digunakan menghubungkan wilayah yang dipisahkan oleh sungai, laut ataupun danau. Selain itu, Surat Kabar Belanda telah memberitakan bahwa sebelum tahun 1910 Sungai Brantas masih dilalui kapal-kapal kecil. Terkait jembatan tersebut, diterangkan bahwa Jembatan Kertosono dibangun sekitar 14 tahun lalu. Surat kabar ini terbit 3 Maret 1938, 14 tahun sebelumnya berarti 1924. (https://www.delpher.nl/ nl/kranten/view? query=Brug+Over+den+Brantas+te+ Kertosono&coll=ddd&identifier=MMKB19:000476051:mpeg21:a00150&resultsidentifier=MMKB19:000476051:mpeg21:a00150&rowid=5).

Jembatan Lama dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk memperlancar lalu lintas di groote postweg (jalan pos utama) yang terpisah oleh Sungai Brantas. Jembatan Lama dibangun untuk menghubungkan akses jalan utama menuju Surabaya dan Madiun. Jalur ini sebelumnya telah digunakan oleh masyarakat pribumi untuk menuju Kadipaten Kertosono, Mojokerto, Pace, dan Berbek (Munif, 2023). Pada tahun 1854 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun sebuah postweg melalui rute selatan melewati Yogyakarta, Surakarta, dan Kertosono (Raap, 2015: 171). Istilah “post” pada postweg di Kertosono tidak terbatas dalam kegiatan surat-menyurat, namun juga memiliki makna bahwa jalur tersebut sebagai pos keamanan atau jalur militer di bawah pengawasan pemerintah Hindia Belanda. Berdirinya jembatan ini mengalihkan fungsi benteng karena pengawasan lalu lintas dan keamanan dilakukan di jembatan (Munif, 2023). 
Mengutip dari Journal of Indonesian History Volume 12 Nomor 1 (2024), 65-74, bahwasanya sejak abad 15 Sungai Brantas merupakan sarana transportasi air yang digunakan untuk mengangkut barang, orang dan hasil-hasil ekonomi menuju pusat perdagangan di Pelabuhan Besar Surabaya (Rimasari, 2021:274). Alat transportasi yang digunakan pada umumnya adalah perahu tambangan. Menjelang musim kemarau, pengangkutan barang dan hasil bumi menggunakan perahu dianggap kurang efektif karena ketika musim kemarau hanya perahu- perahu kecil yang dapat digunakan untuk menyeberangi sungai (Munif, 2023). 

Sementara pada tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda mulai berkuasa penuh di Pulau Jawa (Ricklefs, 2016: 182). Pemerintah Hindia Belanda banyak melakukan pembangunan termasuk di Kertosono sebagai sarana penunjang untuk memperbaiki keuangan negaranya yang banyak terkuras setelah Perang Jawa. Pembangunan dimulai dari perbaikan jalan-jalan kecil yang sempit dan rusak, kemudian sisi-sisinya dibersihkan dari semak belukar sehingga jalan menuju antar kabupaten lebih mudah untuk dilalui. Pembangunan tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah Hindia Belanda agar infrastruktur lebih berkembang. Pembangunan terus berlanjut hingga pada tahun 1855 pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jembatan di atas Sungai Brantas sebagai groote postweg atau jalur pos utama menuju Surabaya dan Madiun (Velzen, 1877: 65) yang merupakan jembatan pertama yang melalui sungai Brantas. Groote postweg merupakan jalur yang digunakan sebagai jalan utama dalam pengiriman pos dengan tujuan penyampaian informasi menjadi lebih cepat dan mudah (Nas and Pratiwo, 2020: 712). 

Jembatan Lama Kediri (Brug Over den Brantas te Kertosono) merupakan jembatan di Jawa yang pertama kali dibangun dengan konstruksi besi dan merupakan sebuah karya yang luar biasa pada pertengahan abad 19 (Raap, 2015: 221). Jembatan Lama menghubungkan kecamatan Mojoroto dan kecamatan Kota yang dipisahkan oleh Sungai Brantas. Jembatan Lama memiliki panjang 160 m, lebar 5,8 m, dan tinggi 7,5 m dari permukaan air (Tim Ahli Cagar Budaya, 2019: 2). Jembatan Lama dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pertahanan serta distribusi perdagangan bagi Pemerintah Hindia Belanda (Munif, 2023). Adanya Jembatan Lama menjadikan Kediri memiliki lebih banyak konektivitas dengan kota lainnya. Pembangunan Jembatan Lama juga membawa manfaat bagi masyarakat pribumi karena adanya jembatan mempermudah masyarakat dalam kegiatan transportasi menuju seberang sungai, khususnya bagi para pedagang. Pada kanan dan kiri jembatan terdapat trotoar yang dikhususkan untuk para pejalan kaki agar jembatan lebih mudah dan nyaman diseberangi (Stufkens, 1915). Dibangunnya Jembatan Lama memberi pengaruh yang besar bagi masyarakat serta pertumbuhan ekonomi dan kemajuan wilayah Kediri.

Demikian pula dengan pembangunan jembatan Kertosono juga dimaksudkan untuk selain mempermudah dan mempersingkat jalur pendistribusian hasil bumi maupun perdagangan dan juga untuk mendukung pertahanan Hindia Belanda. Selain itu untuk mencapai efektivitas dan efisiensi perjalanan, karena jika harus melalui Kertosono, maka perjalanan lebih jauh dan lama. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda bersedia mengeluarkan sekitar 490.000 gulden untuk membangun jembatan Kertosono, sebagaimana dikabarkan oleh koran Bataviaasch niewsblad saat itu melalui Aan de MV. Sar. Crt. yang terbit pada tanggal 4 April 1917. Walaupun sebelumnya sudah disediakan area bagi pejalan kaki pada jembatan kereta api, namun kondisinya yang belum memadai. Jembatan darat sangat diinginkan, mengingat saat itu jumlah mobil sudah semakin banyak. Pengangkutan hasil bumi dalam jumlah besar dengan menggunakan truk mulai terjadi, tentu saja membutuhkan sarana transportasi yang memandai agar dapat dilalui oleh mobil terutama menuju ke Surabaya yang merupakan pusat ekspor.

Kembali lagi menengok sejarah pembangunan jembatan lama Kediri, bahwa pada tanggal 16 Mei 1854, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah keputusan untuk membangun jembatan lengkung batu yang didesain oleh Kapten Van Deventer pada tahun 1855 dengan anggaran 128.891 Gulden (Velzen, 1877: 65). Di tengah pengerjaan jembatan, seorang Insinyur Departmen Pengelolaan Air ke-4 di Surabaya menyatakan beberapa keberatan pada tanggal 28 Juni 1858. Keberatan tersebut ditolak oleh Gubernur dan pembangunan tetap dilanjutkan hingga tanggal 29 September 1859, dengan hasil fondasi abutmen kiri telah selesai diikuti dengan pembangunan dinding depan dan sayap, serta pemancangan tiang pancang untuk abutmen kanan dan tiang pancang untuk dua pilar pertama (Kop, 2004: 102). Pembangunan jembatan dimulai lagi pada tanggal 18 September 1865 dan diperkirakan akan selesai pada tanggal 18 September 1867. Proyek tersebut mengalami keterlambatan akibat masalah teknis, sehingga baru pada tanggal 8 November 1867 sub strukturnya siap untuk direkam. Pada 11 Maret 1869 dilakukan uji coba pada jembatan dan jembatan dibuka untuk umum pada tanggal 18 Maret 1869 (Velzen, 1877: 67). Dari uraian tersebut diperoleh bahwa sangat dimungkinkan pembangunan jembatan lama Brantas di Kertosono juga masih dibawah Departmen Pengelolaan Air ke-4 di Surabaya. Dari informasi ini dapat ditelusuri selanjutnya Lembaga tersebut kemudian berubah menjadi Lembaga apa?. Dengan demikian kepemilikan aset awalnya bias ditelusuri.
Surat kabar De Locomotiv edisi 17 Mei 1920, memberitakan bahwa Pemerintah Hindia Belanda menyetujui pembangunan jembatan darat tetap dengan biaya diperkirakan sebesar 409.000 Gulden. Adapun lokasi pembangunannya berada di sebelah selatan jembatan kereta api. Hal ini tentu sesuai dengan kondisi lokasi yang tergambar oleh jembatan lama Kertosono saat ini yang tidak terlalu jauh dengan jembatan kereta api. Pembangunan jembatan diperkirakan dimulai pada tahun 1920 dengan diawali pengumpulan materialnya dan diharapkan selesai pada tahun 1921 (https://www.delpher.nl/nl/kranten/view?query=Brug+Over+den+Brantas+te+Kertosono&coll=ddd&identifier=MMKB23:001686025:mpeg21:a00019&resultsidentifier=MMKB23:001686025:mpeg21:a00019&rowid=3)
Dari berita surat kabar Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch sch-Indie yang terbit pada tanggal 7 Maret 1925, memberitakan bahwa jembatan Kertosono sudah dapat dilalui pada tahun 1924. Berdasarkan keterangan tersebut terlihat bahwa pembangunan jembatan sangat dimungkinkan mengalami kemoloran dari waktu yang ditentukan (1921) dikarenakan berbagai hal. Selain itu pembangunan jembatan tersebut ternyata belum mampu mengembalikan Kertosono sebagai daerah perdagangan yang ramai seperti sebelumnya. (https://www.delpher.nl/nl/kranten /view?query=Brug+Over+den+Brantas+te+Kertosono&coll=ddd&identifier=ddd:011037769:mpeg21:a0057&resultsidentifier=ddd:011037769:mpeg21:a0057&rowid=2)
Pada sisi lainnya terkonfirmasi berdasarkan hasil penelitian komunitas Roodebrug bersama Marjolein van Pagee (Cucu dari Van Pagee, Van Pagee yang ikut terlibat langsung kejadian di Kerosono dan Baron pada saat Agresi II Belanda) bahwa pada tahun 2012 telah melakukan wawancara terhadap beberapa saksi mata yang masih hidup dari Indonesia. Salah satunya adalah purnawirawan Letnan Siswojo yang adalah pelaku pemasangan bom/ranjau di jembatan lama Kertosono saat itu di masa agresi belanda ke II pada tahun 1949. Jembatan tersebut mencoba diledakkan dengan beberapa ranjau akan tetapi tak jua roboh karena sangat kokohnya bangunannya. “Awal penemuan lokasi ini adalah ketika saya bersama Marjolein van Pagee dan Aftonun selaku fotografer menelusuri jalur pertempuran Marinir Belanda yang kebetulan juga belakangan kami ketahui bahwa almarhum kakek saya dulu juga bertempur di jalur yang sama pada tahun 1949. Faktanya adalah ada bagian brigade Marinir Belanda yang berperang dengan unit gerilya kakek saya, namun apakah mereka pernah berhadapan secara langsung,kami tidak tahu”. Demikian ujar salah seorang yang terlibat dalam liputan penelusuran tersebut.

Pada kemudian hari Tim Penelusuran juga mendapatkan foto kuno yaitu berupa iringan panser Belanda dari Resimen Kavaleri Huzaren van Boreel melewati jembatan kertosono pada awal 1949 dimana dalam situs website dijelaskan bahwa resimen kavaleri ini bertemu dengan brigade Marinir di Jembatan Kertosono. (http://www.collectie.legermuseum.nl/strategion/strategion/i003921.html).Sebagaimana diceritakan di atas bahwa peledakan jembatan dengan bom ranjau dimaksudkan agar pasukan Belanda dari arah Surabaya tidak dapat masuk ke wilayah Nganjuk. Bahkan pemasangan ranjau dilakukan para pejuang Indonesia hampir di sepanjang jalan antara Kertosono hingga ke Baron. Salah satu akhirnya salah satunya mampu melumpuhkan panser dan mengenai tentara Belanda yang menyebabkannya tewas. Karena hal inilah, pasukan Belanda marah dan melakukan sweeping kepada masyarakat yang diperkirakan adalah simpatisan maupun juga bagian dari para pejuang. Pada akhirnya beberapa warga masyarakat ada yang menjadi korban meninggal akibat kemarahan pasukan Belanda tersebut hingga diperkirakan korban yang ada berjumlah hampir 50 orang dari 3 desa di wilayah barat dari Kertosono tetapnya Desa Sedan, Gebang Kerep dan Plimping yang semua masuk di Kecamatan Baron. Kejadian tersebut masih ada banyak saksi hidup yang dapat diwawancarai oleh Tim Penelusuran. Itulah sebabnya mengapa jembatan Kertosono lama juga dianggap penting oleh masyarakat, karena menjadi saksi bisu atas kekejaman tentara Belanda kepada warga Indonesia. Jembatan Kertosono dianggap memiliki kenangan dan nilai sejarah perjuangan masyarakat Nganjuk terutama Kertosono. Itulah sebabnya walaupun kondisinya saat ini sedang dalam keadaan yang mengenaskan, masyarakat tetap meminta jembatan tersebut terus berdiri tegak untuk menjadi saksi atas perjuangan keluarga mereka.
Pada keadaan lain, apabila perbaikan jembatan dilakukan melalui kegiatan restorasi, tentu juga tidak mudah dan membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Namun demikian karena besarnya nilai sejarah yang ada tentunya juga harus menjadi pertimbangan semua pihak yang akan terlibat. Sebagaimana pesan Bung Karno sebagai Proklamator bangsa Indonesia yaitu “Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Dari padanya kita dapat belajar untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Journal of Indonesian History, Artikel P-ISSN 2252-6633 | E-ISSN 2549-0370 : Brug Over and Brantas te Kertosono as Regional Liaison in 1855-1912 



Kesimpulan :
Kertosono memiliki wilayah yang dilewati oleh Sungai Brantas, sehingga wilayahnya terbagi menjadi barat yang dapat menuju Madiun, Kartasura dan Yogyakarta dan timur menuju Surabaya, Malang hingga Banyuwangi. Untuk menghubungkan dua wilayah tersebut diperlukan sebuah jembatan yang dapat mempermudah transportasi. Infrastruktur jalan maupun jembatan sangat diperlukan untuk mempermudah transportasi. Infrastruktur yang memandai akan memberikan banyak manfaat terhadap perkembangan dan perekonomian. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda membangun Jembatan Lama di Kertosono yang mulai beroperasi pada tahun 1924. 
Sesuai uraian di atas dan merujuk pada pasal 5 Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya bahwa jembatan lama Kertosono telah memenuhi kriteria : berusia 50 tahun atau lebih, mewakili gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, maka dapat dikatakan bahwa jembatan lama Kertosono layak sebagai Cagar Budaya atau Obyek Diduga Cagar Budaya. Oleh karenanya perlu adanya kaijan lebih lanjut terkait jembatan lama Kertosono oleh TACB Provinsi mengingat keberadaan jembatan ini menghubungkan dua wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kediri. Perundangan utama yang mengatur Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Registrasi Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya. Dalam PP No. 1 Tahun 2022 mengatur pelindungan terhadap ODCB, yang diberlakukan sama sebagai cagar budaya.
Sebagai ODCB (Obyek Diduga Cagar Budaya), jembatan Kertosono lama layak untuk dipertahankan. Perlakuan perbaikan dengan metode restorasi walaupun mungkin sangat mahal, sangat dimungkinkan agar jembatan tersebut dapat difungsikan lagi minimal bagi para pejalan kaki maupun pengguna kendaraan roda dua yaitu motor dan sepeda. 

Referensi Arsip : 
Bleeker, Dr. P. (1850). “Fragmenten Eener Reis over Java”. 
“Brantasbrug Te Kertosono”. http://hdl.handle.net/1887.1/item:839781. 
“De Ingenieur Organ Der Vereeniging van Burgerlijke Ingenieurs” (1899). 
“Een vaste brug voor rij-en. voertuigen over de Brantas. bij Kertosono". De Locomotif,17 Mei 1920.
“Een vaste brug over de Brantas”, Bataviaasch Niews Blad, 4 April 1917 
“Grote Ijzeren Brug over Een Rivier Te Kertosono”. http://hdl.handle.net/1887.1/item:803322. 
Inventaris van Het Archief van Het Ministerie van Koloniën, 1814-1849. 
Kolff, G., and Co. (1906). “Onderzoek Naar de Mindere Welvaart Dek Indlansche Bevolking Op Java En Madoera”. 
Stufkens, Th. E. (1915). “Van Hier En Daar.” De Preager Bode. 
Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur. (2019). “Naskah Usulan Penetapan Jembatan Lama Kertosono (Brug Over Den Brantas Te Kertosono)”.


Jembatan Lama dibangun sebagai penghubung jalan pos jalur Surabaya dan Madiun. Jembatan Lama merupakan salah satu fasilitas yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk kelancaran transportasi, komunikasi, dan distribusi perdagangan. Jembatan Lama juga digunakan sebagai jalur militer untuk pertahanan dan keamanan. Adanya jembatan membuat penyeberangan semakin lancar. Jembatan Lama merupakan salah satu bentuk modernisasi Belanda yang ada di Kertosono. Walaupun saat ini kondisinya telah rusak, namun Jembatan Kertosono memiliki nilai kesejarahan yang luar biasa terutama pada saat Agresi Belanda II.

Penulis : Amin Fuadi

Jejak Sejarah Lahirnya Nganjuk: Dari Pemindahan Medang Hingga Tanah Perdikan Anjuk Ladang

Keterangan Gambar : Ilustrasi peperangan Medang melawan Pamalayu Sriwijaya 


Pu Sindok Dan Jejak Sejarah Lahirnya Nganjuk: Dari Pemindahan Medang Hingga Tanah Perdikan Anjuk Ladang

Pada abad ke-10 Masehi, Kerajaan Medang mengalami masa krisis besar akibat bencana alam dan tekanan politik yang mengancam kelangsungan kekuasaannya. Salah satu tokoh penting dalam momen kritis ini adalah Mpu Sindok, seorang raja cerdas sekaligus reformis yang berhasil membawa kerajaan dari ambang kehancuran menuju kebangkitan baru di tanah timur. Keputusannya untuk memindahkan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur bukan hanya langkah politik, melainkan juga transformasi budaya dan peradaban yang jejaknya masih terasa hingga kini, salah satunya di daerah yang kini dikenal sebagai Nganjuk.

LATAR BELAKANG PEMINDAHAN IBU KOTA MEDANG

Kerajaan Medang yang berpusat di Jawa Tengah (Mataram Kuno) mengalami kehancuran hebat akibat letusan dahsyat Gunung Merapi dan banjir lahar yang menghancurkan pemukiman serta infrastruktur kerajaan. Di samping itu, serangan Pamalayu (dari kerajaan Sriwijaya ?) terhadap pusat kekuasaan Medang di sekitar pesisir utara Jawa turut memperparah situasi. Dalam kondisi yang genting ini, Mpu Sindok yang kala itu menjabat sebagai Rakai Hino (pejabat tinggi) mengambil keputusan besar dengan memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur.

Langkah pemindahan ini diperkirakan berlangsung sekitar tahun 929 M, sebuah momen penting yang menandai berakhirnya era Mataram Kuno di Jawa Tengah dan lahirnya era Medang di Jawa Timur. Mpu Sindok kemudian mengangkat dirinya menjadi raja bergelar Śrī Mahārāja Rake Hino Dyaḥ Siṇḍok Śrī Īśānawikrama Dharmottuṅgadewawijaya serta mendirikan wangsa baru, yakni Wangsa Isana, dan mendirikan pusat pemerintahan baru di wilayah Tamwlang dan Watugaluh, daerah yang kini diduga berada di sekitar Tembelang dan Megaluh, di kabupaten Jombang.

TANAH PERDIKAN ANJUK LADANG DAN PERAN STRATEGIS NGANJUK

Delapan tahun setelah pemindahan itu, tercatat dalam prasasti bernama Prasasti Anjuk Ladang atau Prasasti Jayastambha  (bertanggal 10 April 937 M), bahwa Mpu Sindok menetapkan sebuah wilayah bernama ANJUK LADANG sebagai TANAH PERDIKAN yaitu daerah bebas pajak sebagai bentuk penghargaan kepada masyarakatnya. Penetapan ini bukan tanpa alasan, disebutkan bahwa rakyat Anjuk Ladang telah berjasa membantu pasukan kerajaan dalam menahan serangan musuh dari Pamalayu.

Prasasti Anjuk Ladang menjadi bukti otentik keberadaan masyarakat dan peran strategis wilayah ini dalam konsolidasi kekuasaan Mpu Sindok. Dalam prasasti itu pula disebutkan pembangunan sebuah candi yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Prasadha sebagai tanda syukur dan peringatan atas jasa para penduduk. Candi ini diyakini sebagai Candi Lor yang kini berada di Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.

LAHIRNYA NGANJUK DAN WARISAN SEJARAHNYA

Tanggal 10 April kemudian diabadikan sebagai hari kelahiran Nganjuk (Bukan Kabupaten Nganjuk), menjadikannya salah satu daerah di Indonesia yang memiliki landasan historis kuat atas asal-usul wilayahnya. Penetapan Anjuk Ladang sebagai tanah perdikan bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga penghormatan terhadap keberanian, kesetiaan, dan perjuangan rakyat kecil yang turut menentukan arah sejarah kerajaan.

Kebijakan Mpu Sindok dalam mendirikan tanah perdikan menunjukkan bagaimana ia tidak sekadar memerintah dari pusat kekuasaan, tetapi juga membangun basis sosial yang kuat dengan memberikan penghargaan nyata kepada daerah-daerah yang berjasa. Strategi ini terbukti efektif dalam menciptakan stabilitas dan loyalitas di tengah perubahan besar yang sedang berlangsung.

PENUTUP

Perjalanan Mpu Sindok dari Jawa Tengah ke Jawa Timur bukan hanya kisah perpindahan pusat pemerintahan, tetapi juga tonggak awal dari lahirnya identitas baru bagi wilayah-wilayah timur Pulau Jawa. Keberadaan tanah perdikan Anjuk Ladang menjadi saksi sejarah bahwa Nganjuk bukan sekadar wilayah administratif, melainkan bagian dari narasi besar transformasi kerajaan kuno Nusantara. Dalam semangat itu, peringatan hari jadi Nganjuk setiap 10 April bukan hanya seremoni, tetapi ajakan untuk mengenang kembali akar sejarah perjuangan yang membentuk jati diri daerah ini.

Penulis : John

Senin, 04 Agustus 2025

Upaya Meledakkan Jembatan Kertosono, Invasi Jepang di Jawa Timur Maret 1942


Upaya Meledakkan Jembatan Kertosono, Invasi Jepang di Jawa Timur Maret 1942

Pada malam tanggal 4 Maret 1942 pukul 20.30, setelah membangun jembatan darurat melintasi Sungai Solo di dekat Tjepoe (Cepu), kekuatan utama Divisi ke-48 Tentara Kekaisaran Jepang mulai bergerak ke arah timur, menuju tepi timur Sungai Brantas.

Gerak maju ini berlanjut tanpa henti sepanjang malam hingga keesokan harinya. Tanggal 5 Maret 1942, pasukan Jepang secara sistematis menghancurkan sisa-sisa perlawanan militer Hindia Belanda di sejumlah kota penting di jalur tengah Pulau Jawa:

-Ngawi
-Tjaroeban (Caruban)
-Ngandjoek (Nganjuk)
-Kertosono
-Kediri
-Djombang (Jombang)

Kemenangan beruntun ini menunjukkan strategi serangan kilat yang sangat terorganisir dan tak memberi waktu musuh untuk menyusun pertahanan ulang.

Upaya Gagal Menghancurkan Jembatan Kertosono

Sebelum mundur, pasukan Hindia Belanda sempat berusaha menghancurkan jembatan strategis di Kertosono, namun hanya berhasil menenggelamkan sebagian jembatan sekitar 30–60 cm di bawah permukaan. Jembatan tersebut masih dapat dilewati pasukan Jepang, sehingga mereka bisa melanjutkan gerak maju dengan cepat.

Penaklukan Mojokerto dan Langkah Intelijen

Pada siang hari tanggal 6 Maret, Unit Imai telah mencapai dan menduduki Modjokerto (Mojokerto).

Laporan intelijen Jepang menyebutkan bahwa pada 5 Maret, menyadari arah serangan Jepang yang mulai membelok ke selatan, komandan pasukan Sekutu memerintahkan pasukan yang berada di sekitar Babad untuk segera bergerak menuju Mojokerto. Di sana mereka diperintahkan untuk menimbun amunisi dalam jumlah besar, cukup untuk menyuplai satu divisi selama beberapa hari. Ini menunjukkan upaya untuk mengonsolidasikan pertahanan terakhir di wilayah tengah timur Jawa.

Namun, informasi yang diterima pada pukul 16.00 tanggal 6 Maret menunjukkan bahwa pasukan musuh justru mundur ke arah Soerabaja (Surabaya). Laporan tambahan juga menyebutkan bahwa tidak ada konsentrasi kekuatan besar di wilayah Malang, mengindikasikan kerapuhan pertahanan musuh di sisi selatan.

Perintah Penghancuran Total Musuh di Selatan Surabaya

Menanggapi hal ini, komandan Divisi ke-48 segera mengubah strateginya. Ia mengeluarkan perintah eksplisit kepada seluruh unitnya untuk segera mencari, menghadang, dan menghancurkan pasukan musuh yang tersisa di wilayah selatan Surabaya.

Sebelumnya, Unit Kitamura diperintahkan untuk bergerak dari Babad ke Surabaya melalui Lamongan, dengan perintah untuk menghindari kota Lamongan dari arah selatan dan langsung menuju Mojokerto. Namun, karena situasi mulai berkembang secara menguntungkan bagi Jepang, perintah baru segera dikeluarkan.

Penulis : John.

Sumber : Report Documentation The Invasion Of The Netherlands East Indies (1958) halaman 54.

KAJIAN TENTANG POTENSI PELANGGARAN HUKUM PEMBONGKARAN JEMBATAN KERTOSONO

Oleh : PRAYOGO LAKSONO, SH.,MH. (Praktisi Hukum)


“Seluruh informasi hukum yang disajikan oleh Penulis semata – mata untuk tujuan kajian Hukum Melalui Pendekatan Normatif dan bersifat umum”

I.Sejarah Singkat Jembatan Kertosono

Mengutip dari Laman Link Disporabudpar Kabupaten Nganjuk Pemerintah Hindia Belanda membangun Jembatan Lama di Kertosono yang mulai beroperasi pada tahun 1924, merujuk pada pasal 5 Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya bahwa jembatan lama Kertosono telah memenuhi kriteria : berusia 50 tahun atau lebih, mewakili gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, maka dapat dikatakan bahwa jembatan lama Kertosono layak sebagai Cagar Budaya atau Obyek Diduga Cagar Budaya. Oleh karenanya perlu adanya kaijan lebih lanjut terkait jembatan lama Kertosono oleh TACB Provinsi mengingat keberadaan jembatan ini menghubungkan dua wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kediri. Perundangan utama yang mengatur Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Registrasi Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya. Dalam PP No. 1 Tahun 2022 mengatur pelindungan terhadap ODCB, yang diberlakukan sama sebagai cagar budaya.

II.Pengertian Tentang ODCB dan Cagar Budaya

Berdasarkan penelusuran penulis Jembatan Kertosono telah ditetapkan sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB)
Pengertian dan definisi Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) adalah Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) adalah benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang Diduga memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya, berdasarkan Pasal 1 angka 7 PP Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya, Artinya diperlakukan yang sama oleh Peraturan Perundang - Undangan

Untuk melestarikan ODCB dan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya., Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar Budaya, Mengingat adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan secara mendasar diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya telah berhasil disempurnakan dengan Undang-Undang, Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Secara yuridis, undang-undang ini mengatur hal-hal yang terkait dengan pelestarian yang meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Di dalamnya juga tercantum tugas dan wewenang para pemangku kepentingan serta ketentuan pidana

III.Peran Stakeholder dan  Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk Dalam Menjaga ODCB dan Cagar Budaya, dapat dijelaskan sebagai berikut :

Cagar budaya yang tersebar di Indonesia sudah banyak tercatat, namun kurang terlindungi. 
Selama ini, kejahatan terhadap cagar budaya yaitu pengrusakan, penjarahan, dan penelantaran dianggap hanya berkaitan dengan masa silam. Padahal dampaknya besar terhadap masa depan, Kejahatan tersebut tidak hanya melenyapkan ingatan tentang masa lalu, tetapi juga menjarah pijakan generasi masa depan mengenai pemahaman identitas bangsa

Dasar Hukum Peran Stakeholder :

Mengutip Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya diantaranya dalam  Pasal 56 Mewajibkan Setiap orang dapat berperan serta melakukan Pelindungan Cagar Budaya. Penyelamatan, kemudian  Pasal 57 Mewajibkan Setiap orang berhak melakukan Penyelamatan Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan darurat atau yang memaksa untuk dilakukan tindakan penyelamatan, Pasal 58 ayat (1) Menjelaskan tentang Tujuan Penyelamatan Cagar Budaya diantaranya :

a. mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang 
menyertainya; dan
b. mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan dan/atau enguasaan Cagar Budaya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam keadaan arurat 
dan keadaan biasa

Dasar Hukum  Peran Pemerintah Daerah :

Pasal 59 ayat:Mewajibkan Kepada (3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan, atau kerusakan baru, 

Dalam hal ini Penulis mendapatkan Informasi dan  mengapresiasi bahwa  Pemerintah Daerah Nganjuk telah Mencatatkan Jembatan Kertosono merupakan Asset Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk, Hal ini merupakan Wujud Kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Oleh Undang - Undang Nomor 11 tahun 2010  Pasal 59, yang Mewajibkan Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk Diwajibkan untuk melakukan Penyelamatan, wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan, atau kerusakan baru, Jika Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk Lalai akan Menimbulkan Konsekwensi Hukum

Konsekwensi Hukum Apabila Stakeholder dan  Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk Lalai dalam Menjaga ODCB dan Cagar Budaya Jembatan Kertosono, dapat dijelaskan sebagai berikut :

Bahwa Sebagaiman  pada Pasal 32 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjaminkebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”

Kutipan Pasal 32 ayat (1) UUD RI 1945 ini memiliki beberapa unsur yang penting sebagai pedoman kehidupan bernegara Yaitu : Pertama, adalah pengertian tentang kebudayaan nasional, yaitu kebudayaan yang hidup dan dianut oleh penduduk Indonesia; Kedua, menempatkan kebudayaan itu dalam konstelasi peradaban manusia di dunia; dan Ketiga, negara menjamin kebebasan penduduknya untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan miliknya, Artinya dalam Hal ini Negara Menjamin bahwa warga Negara Republik Indonesia yang dalam Hal ini Masyarakat Nganjuk Untuk Memelihara dan mengembangkan Kebudayaan Miliknya (Jembatan Lama Kertosono yang merupakan ODCB) 

Kemudian Terdapat Sangsi Pidana Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Pasal 62 ayat: (1) Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat dilakukan oleh juru pelihara dan/atau polisi khusus (2) Polisi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan patroli di dalam Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan wilayah hukumnya;
b. memeriksa surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya; 
c. menerima dan membuat laporan tentang telah terjadinya tindak pidana terkait dengan 
Cagar Budaya serta meneruskannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau instansi terkait; dan
d. menangkap tersangka untuk diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selain itu Sangsi Pidana ditegaskan pula dalam Bab XI Ketentian Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Sebagai berikut :

Pasal Demi Pasal :

Pasal 104 
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, 
menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya 
Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

Pasal 105 
Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

Pasal 114 
Jika pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga). 

Kesimpulan Kajian

- Merujuk pada pasal 5 Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya bahwa jembatan lama Kertosono telah memenuhi kriteria : berusia 50 tahun atau lebih, mewakili gaya paling singkat berusia 50 tahun sehingga Layak dikategorikan sebagai ODCD

- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Registrasi Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya. Dalam PP No. 1 Tahun 2022 mengatur pelindungan terhadap ODCB, yang diberlakukan sama sebagai cagar budaya dan Jembatan Kertosono Sudah diajukan dan Tercatat Sebagai ODCB Oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).

- Undang - Undang Nomor 11 tahun 2010  Pasal 59, Berdasarkan Informasi Karena sudah Tercatat sebagai Asset Pemda Nganjuk, Memberikan kewenangan dan Mewajibkan Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk  untuk melakukan Penyelamatan, wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan, atau kerusakan baru

- Perlunya Kajian Secara Menyeluruh Apabila Issue di Masyarakat tentang Pembongkaran Jembatan Kertosono benar Adanya, Terhadap Potensi Pelanggaran Hukum Dugaan Tindak Pidana Khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 104,Jo Pasal 105 Jo Pasal 114 Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Sebagaimana Asas quality before the law diartikan sebagai persamaan di hadapan hukum, Artinya Baik Masyarakat maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk Sama dihadapan Hukum.


Referensi Peraturan Terkait :

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya.

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya.