Sebuah Kilas Balik dari Awal Revolusi Fisik Indonesia
Satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), situasi politik dan keamanan di tanah air belum stabil. Pada 15 September 1945, pasukan Sekutu yang diwakili oleh tentara Inggris mendarat di Jakarta. Di antara mereka ikut pula orang-orang Belanda yang tergabung dalam NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang berniat mengembalikan kekuasaan kolonial di Hindia Belanda.
Di Surabaya, NICA menunjuk seorang pemimpin komunitas Indo-Eropa bernama Victor Ploegman sebagai calon Wali Kota. Ia bersama kelompoknya menempati Hotel Yamato (dahulu bernama Hotel Oranje, kini Hotel Majapahit). Pada 19 September 1945, mereka mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) di atap hotel sebagai simbol kembalinya kekuasaan Belanda di Surabaya.
Tindakan ini memicu kemarahan rakyat Surabaya. Ratusan warga dan pemuda segera mengepung hotel. Untuk mencegah bentrokan, Residen Surabaya Sudirman didampingi Hariyono dan Sidik berinisiatif masuk ke hotel untuk berunding dengan Ploegman. Namun, perundingan berubah menjadi tragedi ketika Ploegman menodongkan pistol ke arah Residen Sudirman. Sidik langsung bereaksi dan menyerang Ploegman, sementara Hariyono melindungi Residen agar keluar dari lokasi.
Pertempuran kecil pecah di dalam hotel. Ploegman tewas ditikam Sidik, namun Sidik sendiri mengalami luka parah akibat dikeroyok oleh pengikut NICA. Di luar, massa Surabaya semakin beringas. Hariyono memanjat atap hotel, disusul Kusno Wibowo, untuk menurunkan bendera Belanda. Karena tidak membawa bendera Indonesia, Hariyono secara spontan merobek bagian biru dari bendera Belanda—meski kepalanya terserempet peluru—sehingga tersisa warna Merah Putih yang kemudian dikibarkan kembali di puncak Hotel Yamato.
Peristiwa heroik ini menjadi simbol awal perlawanan rakyat terhadap kembalinya penjajahan Belanda. Sidik yang gugur akibat luka-lukanya kemudian dikenang sebagai pahlawan pertama dalam rangkaian Pertempuran Surabaya.
Setelah insiden bendera, situasi Surabaya terus memanas. Pada 25 Oktober 1945, pasukan Inggris yang tergabung dalam Brigade 49 Divisi India di bawah komando Brigadir A. W. S. Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak. Misi resmi mereka adalah melucuti senjata tentara Jepang sesuai dengan hasil Konferensi Yalta.
Namun kenyataannya, sebagian besar senjata Jepang telah dikuasai oleh para pemuda Surabaya. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kedua pihak. Pada 27 Oktober 1945, pesawat Inggris menyebarkan selebaran ultimatum yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Douglas Hawthorn, atasan Mallaby di Jakarta. Isinya memerintahkan agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata, jika tidak, mereka akan dianggap musuh dan ditembak di tempat.
Ultimatum ini memicu kemarahan besar. Pada 28 Oktober 1945, ribuan warga Surabaya menyerang pos-pos tentara Inggris dan NICA. Pertempuran sengit berlangsung di berbagai titik kota. Banyak tentara Inggris tewas, sebagian besar dari Divisi India. Pasukan Inggris tidak menyangka perlawanan rakyat begitu gigih dan brutal.
Untuk menghentikan pertumpahan darah, Mayjen Hawthorn meminta bantuan Pemerintah Republik Indonesia. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin segera terbang ke Surabaya pada 29 Oktober 1945. Mereka mengadakan perundingan dengan Gubernur Jawa Timur Raden Suryo dan pihak Inggris. Hasilnya adalah gencatan senjata sementara dan pembatalan ultimatum.
Namun, keterbatasan alat komunikasi menyebabkan perintah gencatan senjata tidak segera sampai ke seluruh penjuru kota. Akibatnya, pertempuran sporadis masih berlanjut. Saat berupaya menenangkan keadaan, Brigadir Mallaby justru tewas dalam bentrokan di sekitar Jembatan Merah pada 30 Oktober 1945. Mobilnya (jenis Buick) terbakar setelah terjadi baku tembak. Hingga kini, penyebab pasti kematian Mallaby masih menjadi perdebatan sejarah.
Tewasnya Brigadir Mallaby menimbulkan kemarahan besar di pihak Inggris. Komando pasukan Inggris di Surabaya kemudian diambil alih oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh. Pada 9 November 1945, ia mengeluarkan ultimatum terakhir:
"Semua “ekstrimis” Surabaya harus menyerahkan senjata dan mengakui kekuasaan Sekutu paling lambat pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945, jika tidak kota akan dihancurkan".
Pemerintah dan rakyat Surabaya menolak tegas ultimatum tersebut. Maka pada 10 November 1945, pukul 06.00 pagi, Inggris melancarkan serangan besar-besaran dari darat, laut, dan udara. Artileri berat, kapal perang, dan pesawat tempur menggempur kota tanpa ampun. Gedung-gedung hancur, ribuan warga sipil menjadi korban.
Namun, semangat juang rakyat Surabaya tak padam. Para pemuda dari berbagai daerah seperti Malang, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri, hingga Madura berdatangan untuk membantu perjuangan. Pertempuran berlangsung sengit dari rumah ke rumah. Inggris memperkirakan Surabaya akan jatuh dalam tiga hari, namun perlawanan rakyat membuat pertempuran berlangsung hingga tiga minggu lebih.
Di hari-hari awal, Inggris bahkan kembali kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Loder Symonds, setelah pesawatnya tertembak jatuh di atas Surabaya.
Pertempuran baru benar-benar mereda pada 28 November 1945, ketika benteng terakhir pejuang di Gunungsari berhasil dikuasai pasukan Inggris. Sisa pasukan Indonesia mundur ke arah Mojokerto, yang kemudian dijadikan ibukota darurat Jawa Timur.
Menurut catatan resmi (sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia dan catatan militer Inggris), korban jiwa di pihak Indonesia mencapai sekitar 6.000–16.000 orang, sementara pihak Inggris dan India kehilangan lebih dari 2.000 prajurit.
Pertempuran Surabaya merupakan konflik bersenjata terbesar pertama setelah Proklamasi 1945, sekaligus menandai dimulainya Revolusi Fisik Indonesia. Semangat juang “Arek-Arek Suroboyo” menjadi simbol keberanian rakyat mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang pengorbanan itu, 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1959.
Sumber dan Referensi :
- Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) – Koleksi Revolusi 1945
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI – Direktorat Sejarah
- Laporan Militer Inggris (British National Archives, WO 203/4894)
- Buku Pertempuran Surabaya 1945 (Abdullah Kamil, 2015)
- Museum Tugu Pahlawan, Surabaya
- Facebook Heri Purwanto
Penulis : John
