Jumat, 28 November 2025

Kotasejuk dan Perhutani Sinkronkan Langkah Penyelamatan Hutan dan Pelestarian Cagar Budaya

Nganjuk, Jumat (28/11/2025)  Kotasejuk melakukan kunjungan resmi ke kantor Perhutani sebagai upaya memperkuat sinergi antar-lembaga dalam pelestarian hutan serta potensi sejarah dan cagar budaya yang berada di dalam kawasan hutan.

Rombongan Kotasejuk dipimpin oleh Amin Fuadi, Ketua Kotasejuk sekaligus Kabid Kebudayaan Disporabudoar Nganjuk, didampingi oleh Suswanto, Johnarief, dan Danu.

Dalam sesi wawancara, Amin Fuadi menjelaskan bahwa pertemuan ini memiliki tujuan penting untuk menyatukan arah dan langkah antara pihak dinas, Perhutani, dan komunitas.

“Maksud pertemuan hari ini untuk menyinkronkan keinginan dinas, Perhutani, dan komunitas terhadap penyelamatan hutan secara umum serta seluruh potensi sejarah dan cagar budaya di dalamnya,” ujar Amin.

Ia menegaskan bahwa masing-masing pihak memiliki pendekatan berbeda dalam mencapai tujuan pelestarian, sehingga diperlukan saling menghormati peran dan mekanisme kerja antar-lembaga.

“Tujuannya mempertegas bahwa setiap pihak punya cara yang berbeda untuk mencapai penyelamatan hutan dan segenap potensinya, sehingga harus ada saling menghormati,” tambahnya.

Amin juga menyampaikan harapan agar koordinasi lintas lembaga dapat terus terjaga, terutama dalam setiap program ataupun kegiatan yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan dan situs budaya.

“Harapannya selalu ada sinkronisasi dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga, sehingga tujuan besarnya tetap tercapai,” tutupnya.

Kunjungan ini menjadi langkah awal memperkuat kolaborasi agar upaya konservasi hutan sekaligus pelestarian sejarah dapat berjalan lebih terarah, terpadu, dan berkelanjutan.


penulis : John

Kamis, 27 November 2025

Kotasejuk Hadiri Sarasehan Hari Menanam Indonesia Bersama KPH Malang


Dalam rangka menyambut Hari Menanam Indonesia 28 November 2025, Kotasejuk mendapat kehormatan untuk hadir dalam kegiatan yang digelar oleh KPH Malang di kawasan Gunung Pitrang, kaki Gunung Kawi, Rabu sore, 26 November 2025.

Kegiatan bertajuk "Cangkrukan Setengah Nol: Menanam Tanpa Mengharap Kembali" ini dikemas dalam bentuk sarasehan atau talk show yang mempertemukan berbagai komunitas ekologi, pegiat lingkungan, dan tokoh-tokoh yang memiliki integritas tinggi dalam isu keberlanjutan.

Dalam forum tersebut, Kotasejuk turut menjadi narasumber melalui kehadiran Kristomo, Penasehat Kotasejuk, yang membagikan pandangan mengenai pentingnya kesadaran ekologis, gerakan menanam yang berkelanjutan, serta filosofi “memberi kembali pada bumi tanpa hitung-hitungan”.


Gerakan Menanam Bersama

Sebagai bentuk nyata kepedulian lingkungan, Kotasejuk membawa sejumlah bibit pohon untuk ditanam di kawasan hutan Desa Balesari, yaitu:

  • Kemenyan Putih

  • Pule

  • Beringin

Ketiga jenis pohon tersebut dipilih karena memiliki nilai ekologis, daya adaptasi tinggi, dan berperan penting dalam meningkatkan kualitas tutupan vegetasi di kawasan lereng Kawi–Pitrang.


Kehadiran Anggota Kotasejuk

Dalam kegiatan ini, Kotasejuk hadir dengan beberapa perwakilan komunitas, antara lain:

  • Amin Fuadi

  • Suswanto

  • Johnarief

  • Saiful Kohar

  • Danu

Mereka ikut serta dalam sarasehan, diskusi lapangan, hingga aksi menanam bibit di lokasi yang telah disiapkan oleh pihak KPH Malang.


Merawat Bumi, Merawat Masa Depan

Melalui partisipasi dalam kegiatan ini, Kotasejuk kembali menegaskan komitmennya untuk mendorong gerakan penghijauan berbasis komunitas, memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak, dan menjaga kesinambungan ekosistem di kawasan Malang Raya dan sekitarnya.

Kotasejuk percaya bahwa menanam adalah investasi jangka panjang—bukan hanya bagi alam, tetapi bagi generasi yang akan datang.


Penulis : John

Fotografer : Saiful Kohar

Dokumentasi Kegiatan :


Kamis, 13 November 2025

Temuan Fragmen Arca di Situs Condro Geni Nganjuk dan Upaya Merawat Ingatan Sejarah

Di tengah rimbunnya semak di lereng Gunung Wilis, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, sebuah temuan kecil membuka kembali ingatan panjang masa lampau. Tiga fragmen arca batu ditemukan di kawasan Situs Condro Geni—sebuah kompleks purbakala yang selama ini dikenal menyimpan dua arca Dwarapala penjaga gerbang kuno.

Penemuan ini bermula dari kepekaan sederhana seorang juru pelihara situs, Suryanto. Saat membersihkan area di atas Dwarapala kedua, matanya menangkap bentuk batu yang tak biasa. “Saya lihat ada ukiran, terus saya timbun lagi supaya tidak rusak. Lalu saya lapor ke Pak Amin dari Disporabudpar,” kisahnya.

Laporan itu menggerakkan banyak pihak. Beberapa hari kemudian, tim dari Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Nganjuk bersama Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan Komunitas Kotasejuk turun ke lapangan untuk meninjau lokasi. Kami berjalan kaki sekitar satu kilometer menyusuri jalan setapak yang licin menuju titik penemuan di ketinggian 1.114 meter di atas permukaan laut.

Di tengah suasana hening dan sejuk khas lereng Wilis, tiga fragmen arca itu terlihat sebagian tertimbun tanah. Fragmen pertama berupa badan arca Dwarapala setinggi sekitar 50 sentimeter tanpa kepala dan tangan. Fragmen kedua adalah kepala arca dengan rambut gimbal dan telinga mengenakan anting kundala. Fragmen ketiga menampilkan bagian bawah arca dengan tangan bersedekap di depan dada dan lipatan kain berhiaskan pahatan setengah lingkaran di bagian perut hingga mata kaki.

Selain itu ditemukan pula satu batu persegi yang diduga sebagai alas atau lapik arca. Seluruhnya terbuat dari batu andesit dengan pahatan sederhana. “Dari gaya pahatannya, ini bukan arca yang dibuat untuk istana, tapi untuk situs spiritual seperti pertapaan,” kata Sukadi,  Humas Kotasejuk.

Menurut Sukadi, situs Condro Geni memiliki ciri-ciri kuat sebagai karesian — tempat pertapaan atau kadewaguruan masa Hindu–Buddha. Letaknya di ketinggian, dekat sumber air, jauh dari permukiman, dan memiliki pola teras berundak tiga tingkat yang dihubungkan tangga batu.

“Di teras pertama ada Dwarapala bersenjata pedang, di teras kedua Dwarapala memegang gada, dan di teras ketiga — yang paling atas — ditemukan tiga fragmen arca ini,” ujarnya. “Struktur semacam ini khas situs-situs pertapaan di lereng Wilis.”

Bagi Kotasejuk, penemuan ini bukan sekadar temuan arkeologi. Ia adalah pengingat bahwa ruang-ruang spiritual dan ekologi di masa lalu pernah hidup di tempat yang kini kita anggap hutan biasa. Lereng Wilis menyimpan jejak kesunyian, tempat manusia belajar menyatu dengan alam, menata batin, dan memuliakan kehidupan.

Ketiga fragmen tersebut kini ditimbun kembali dengan aman untuk menghindari kerusakan dan penjarahan. Langkah konservasi sederhana dilakukan sambil menunggu tindak lanjut penelitian lanjutan. Tim Kotasejuk bersama warga dan juru pelihara akan terus memantau kondisi situs, sekaligus membersihkan jalur akses agar tidak tertutup semak.

“Ini bagian dari upaya kami merawat ingatan,” tutur Sukadi. “Setiap batu di lereng Wilis punya cerita, dan tugas kita adalah memastikan cerita itu tidak hilang.”

Dari semak yang disingkap, dari tanah yang diam, jejak masa lalu kembali berbicara. Condro Geni tak hanya menyimpan batu dan arca, tetapi juga semangat manusia Jawa kuno yang pernah mencari kesejatian di tengah alam. Sebuah pelajaran berharga bagi kita hari ini — bahwa sejarah tidak hanya untuk dikenang, tapi juga dirawat agar tetap hidup.

Penulis : John

Dokumentasi Kegiatan :

Senin, 10 November 2025

MARSINAH RESMI DINOBATKAN SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL 2025

10 November 2025 — Hari Pahlawan Nasional tahun ini menjadi momentum yang sangat istimewa bagi masyarakat Kabupaten Nganjuk. Sosok Marsinah, aktivis buruh perempuan yang gigih memperjuangkan keadilan dan hak-hak pekerja, akhirnya resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.

Upacara penganugerahan berlangsung khidmat di Istana Negara, Jakarta, pada Hari Pahlawan, 10 November 2025, disaksikan jajaran menteri, tokoh nasional, dan perwakilan keluarga Marsinah yang menerima langsung tanda kehormatan negara tersebut.
Penetapan ini menandai babak baru pengakuan terhadap perjuangan rakyat kecil dalam sejarah Indonesia.

Proses pengusulan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional dimulai sejak tahun 2022, melalui upaya bersama antara berbagai elemen masyarakat, pemerhati buruh, akademisi, dan pemerintah daerah.
Selama tiga tahun, perjuangan itu terus digelorakan hingga akhirnya mencapai puncaknya pada 2025, ketika negara secara resmi memberikan pengakuan tertinggi bagi perjuangan dan pengorbanan Marsinah.

Sebelum keputusan resmi penetapan gelar Pahlawan Nasional, Komunitas Kotasejuk (Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk) turut berperan aktif dalam menjaga dan merawat jejak perjuangan Marsinah.

Pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2024, Kotasejuk bersama sejumlah relawan dan pemerhati sejarah melakukan kegiatan perawatan dan revitalisasi gubuk tempat ditemukannya jasad Marsinah di kawasan hutan Desa Wilangan, Nganjuk.

Kegiatan tersebut meliputi:

- Pembersihan area gubuk dan lingkungan sekitar,
- Penanaman pohon penyejuk seperti tabebuya dan tanjung sebagai simbol harapan dan kehidupan baru,
- Perbaikan atap asbes yang rusak,
- Pengecatan ulang bangunan, serta
- Pemasangan plakat bertuliskan:

 “GUBUK MARSI­NAH — Di sini tempat Pahlawan Buruh Marsinah pada 9 Mei 1993.”

Langkah ini menjadi bentuk penghormatan dari masyarakat Nganjuk, bahwa perjuangan Marsinah tidak hanya dikenang sebagai kisah kelam masa lalu, tetapi juga dijaga sebagai warisan nilai-nilai keadilan, keberanian, dan kemanusiaan.

Marsinah lahir di Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, pada 10 April 1969. Ia bekerja sebagai buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo. Sebagai pekerja muda yang cerdas dan berani, Marsinah dikenal aktif memperjuangkan hak-hak buruh, terutama terkait upah layak, keadilan kerja, dan kebebasan berserikat.

Namun perjuangan itu harus dibayar mahal. Setelah aksi mogok kerja pada awal Mei 1993, Marsinah ditemukan meninggal dunia secara mengenaskan pada 9 Mei 1993 di sebuah gubuk di kawasan hutan Wilangan, Nganjuk.
Kasusnya menjadi simbol pelanggaran hak asasi manusia dan membuka mata bangsa akan pentingnya perlindungan terhadap buruh, terutama perempuan.

Setelah lebih dari tiga dekade, kini nama Marsinah tidak lagi dikenang sebagai korban, melainkan diabadikan sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Gelar tersebut menjadi simbol bahwa perjuangan untuk keadilan sosial, kesetaraan, dan keberanian dalam menegakkan kebenaran merupakan bagian dari nilai-nilai kepahlawanan bangsa.

Penetapan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional juga menjadi momentum penting bagi Kabupaten Nganjuk. Dari tanah kelahiran sederhana, lahir sosok perempuan yang suaranya menggema hingga ke tingkat nasional — suara yang mewakili seluruh kaum buruh dan rakyat kecil yang berjuang demi martabat dan kemanusiaan.

Kini, Marsinah telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi bukan sebagai korban, tetapi sebagai Pahlawan Bangsa.
Kisah hidup dan perjuangannya menjadi cermin keberanian perempuan Indonesia dalam memperjuangkan keadilan.
Dan bagi Nganjuk, ia akan selalu menjadi bagian dari sejarah — Pahlawan Buruh dari Tanah Anjuk Ladang, yang jejak perjuangannya dirawat dan diteruskan oleh generasi penerus.

“Marsinah — Dari Gubuk Sunyi, Lahir Cahaya Keadilan.”

Penulis : John

Surabaya 1945: Awal Revolusi Fisik dan Lahirnya Semangat Kepahlawanan

Sebuah Kilas Balik dari Awal Revolusi Fisik Indonesia

Satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), situasi politik dan keamanan di tanah air belum stabil. Pada 15 September 1945, pasukan Sekutu yang diwakili oleh tentara Inggris mendarat di Jakarta. Di antara mereka ikut pula orang-orang Belanda yang tergabung dalam NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang berniat mengembalikan kekuasaan kolonial di Hindia Belanda.

Di Surabaya, NICA menunjuk seorang pemimpin komunitas Indo-Eropa bernama Victor Ploegman sebagai calon Wali Kota. Ia bersama kelompoknya menempati Hotel Yamato (dahulu bernama Hotel Oranje, kini Hotel Majapahit). Pada 19 September 1945, mereka mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) di atap hotel sebagai simbol kembalinya kekuasaan Belanda di Surabaya.

Tindakan ini memicu kemarahan rakyat Surabaya. Ratusan warga dan pemuda segera mengepung hotel. Untuk mencegah bentrokan, Residen Surabaya Sudirman didampingi Hariyono dan Sidik berinisiatif masuk ke hotel untuk berunding dengan Ploegman. Namun, perundingan berubah menjadi tragedi ketika Ploegman menodongkan pistol ke arah Residen Sudirman. Sidik langsung bereaksi dan menyerang Ploegman, sementara Hariyono melindungi Residen agar keluar dari lokasi.

Pertempuran kecil pecah di dalam hotel. Ploegman tewas ditikam Sidik, namun Sidik sendiri mengalami luka parah akibat dikeroyok oleh pengikut NICA. Di luar, massa Surabaya semakin beringas. Hariyono memanjat atap hotel, disusul Kusno Wibowo, untuk menurunkan bendera Belanda. Karena tidak membawa bendera Indonesia, Hariyono secara spontan merobek bagian biru dari bendera Belanda—meski kepalanya terserempet peluru—sehingga tersisa warna Merah Putih yang kemudian dikibarkan kembali di puncak Hotel Yamato.

Peristiwa heroik ini menjadi simbol awal perlawanan rakyat terhadap kembalinya penjajahan Belanda. Sidik yang gugur akibat luka-lukanya kemudian dikenang sebagai pahlawan pertama dalam rangkaian Pertempuran Surabaya.

Setelah insiden bendera, situasi Surabaya terus memanas. Pada 25 Oktober 1945, pasukan Inggris yang tergabung dalam Brigade 49 Divisi India di bawah komando Brigadir A. W. S. Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak. Misi resmi mereka adalah melucuti senjata tentara Jepang sesuai dengan hasil Konferensi Yalta.

Namun kenyataannya, sebagian besar senjata Jepang telah dikuasai oleh para pemuda Surabaya. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kedua pihak. Pada 27 Oktober 1945, pesawat Inggris menyebarkan selebaran ultimatum yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Douglas Hawthorn, atasan Mallaby di Jakarta. Isinya memerintahkan agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata, jika tidak, mereka akan dianggap musuh dan ditembak di tempat.

Ultimatum ini memicu kemarahan besar. Pada 28 Oktober 1945, ribuan warga Surabaya menyerang pos-pos tentara Inggris dan NICA. Pertempuran sengit berlangsung di berbagai titik kota. Banyak tentara Inggris tewas, sebagian besar dari Divisi India. Pasukan Inggris tidak menyangka perlawanan rakyat begitu gigih dan brutal.

Untuk menghentikan pertumpahan darah, Mayjen Hawthorn meminta bantuan Pemerintah Republik Indonesia. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin segera terbang ke Surabaya pada 29 Oktober 1945. Mereka mengadakan perundingan dengan Gubernur Jawa Timur Raden Suryo dan pihak Inggris. Hasilnya adalah gencatan senjata sementara dan pembatalan ultimatum.

Namun, keterbatasan alat komunikasi menyebabkan perintah gencatan senjata tidak segera sampai ke seluruh penjuru kota. Akibatnya, pertempuran sporadis masih berlanjut. Saat berupaya menenangkan keadaan, Brigadir Mallaby justru tewas dalam bentrokan di sekitar Jembatan Merah pada 30 Oktober 1945. Mobilnya (jenis Buick) terbakar setelah terjadi baku tembak. Hingga kini, penyebab pasti kematian Mallaby masih menjadi perdebatan sejarah.

Tewasnya Brigadir Mallaby menimbulkan kemarahan besar di pihak Inggris. Komando pasukan Inggris di Surabaya kemudian diambil alih oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh. Pada 9 November 1945, ia mengeluarkan ultimatum terakhir:

"Semua “ekstrimis” Surabaya harus menyerahkan senjata dan mengakui kekuasaan Sekutu paling lambat pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945, jika tidak kota akan dihancurkan".

Pemerintah dan rakyat Surabaya menolak tegas ultimatum tersebut. Maka pada 10 November 1945, pukul 06.00 pagi, Inggris melancarkan serangan besar-besaran dari darat, laut, dan udara. Artileri berat, kapal perang, dan pesawat tempur menggempur kota tanpa ampun. Gedung-gedung hancur, ribuan warga sipil menjadi korban.

Namun, semangat juang rakyat Surabaya tak padam. Para pemuda dari berbagai daerah seperti Malang, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri, hingga Madura berdatangan untuk membantu perjuangan. Pertempuran berlangsung sengit dari rumah ke rumah. Inggris memperkirakan Surabaya akan jatuh dalam tiga hari, namun perlawanan rakyat membuat pertempuran berlangsung hingga tiga minggu lebih.

Di hari-hari awal, Inggris bahkan kembali kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Loder Symonds, setelah pesawatnya tertembak jatuh di atas Surabaya.

Pertempuran baru benar-benar mereda pada 28 November 1945, ketika benteng terakhir pejuang di Gunungsari berhasil dikuasai pasukan Inggris. Sisa pasukan Indonesia mundur ke arah Mojokerto, yang kemudian dijadikan ibukota darurat Jawa Timur.

Menurut catatan resmi (sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia dan catatan militer Inggris), korban jiwa di pihak Indonesia mencapai sekitar 6.000–16.000 orang, sementara pihak Inggris dan India kehilangan lebih dari 2.000 prajurit.

Pertempuran Surabaya merupakan konflik bersenjata terbesar pertama setelah Proklamasi 1945, sekaligus menandai dimulainya Revolusi Fisik Indonesia. Semangat juang “Arek-Arek Suroboyo” menjadi simbol keberanian rakyat mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang pengorbanan itu, 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1959.

Sumber dan Referensi :

- Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) – Koleksi Revolusi 1945
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI – Direktorat Sejarah
- Laporan Militer Inggris (British National Archives, WO 203/4894)
- Buku Pertempuran Surabaya 1945 (Abdullah Kamil, 2015)
- Museum Tugu Pahlawan, Surabaya
- Facebook Heri Purwanto 

Penulis : John

Jumat, 07 November 2025

Kotasejuk Serahkan Fosil Stegodon Tritik ke Museum Geologi Bandung


Langkah Penting Menuju Konservasi dan Edukasi Geologi di Nganjuk

Bandung, 6 November 2025

Setelah melalui perjalanan panjang dan penuh kehati-hatian, tim dari Dinas Porabudpar Kabupaten Nganjuk, Museum Anjuk Ladang, dan Komunitas Kotasejuk akhirnya berhasil mengantarkan fosil Stegodon hasil ekskavasi di Hutan Tritik, Rejoso, ke Museum Geologi Bandung.

Rombongan berangkat dari Nganjuk pada Rabu (5/11/2025) sore, menempuh perjalanan lebih dari 12 jam di tengah hujan deras dan medan yang berat. Kamis pagi pukul 05.00 WIB, tim tiba di Bandung dan disambut langsung oleh Ketua Tim Penyelidikan dan Konservasi Museum Geologi, Unggul Prasetyo Wibowo, yang sebelumnya juga memimpin ekskavasi di Nganjuk.
Momen Bersejarah di Auditorium Museum Geologi

Prosesi serah terima fosil dilaksanakan di Auditorium Museum Geologi Bandung. Kegiatan ini dihadiri oleh Kepala Museum Geologi, Isnu Hajar Sulistyawan, bersama jajaran tim konservasi dan edukasi. Dari pihak Nganjuk hadir Kabid Kebudayaan Disporabudpar sekaligus Ketua Kotasejuk, Amin Fuadi, beserta anggota komunitas Kotasejuk yang turut mendampingi pengiriman fosil.

Acara berlangsung khidmat dan penuh rasa haru. Kepala Museum Geologi, Isnu Hajar Sulistyawan, menyampaikan apresiasi tinggi atas kolaborasi yang terjalin antara lembaga pemerintah, museum daerah, dan komunitas lokal.

“Penemuan fosil Stegodon di Nganjuk bukan sekadar temuan arkeologi, tetapi juga kontribusi ilmiah untuk bangsa. Kami akan mendampingi proses konservasi dan membantu pengembangan site museum di Tritik,” ujar Isnu dalam sambutannya.

Ia menambahkan bahwa program Site Museum menjadi salah satu agenda prioritas nasional di bidang geologi dan edukasi publik. Keberadaan site museum di Nganjuk diharapkan tidak hanya memperkuat upaya konservasi, tetapi juga membuka peluang pengembangan ekonomi lokal berbasis wisata edukatif.
Perjalanan Panjang, Penuh Kehati-hatian

Dari sisi Kotasejuk, perjalanan kali ini bukan hanya soal logistik, tetapi juga tanggung jawab moral untuk memastikan warisan bumi tetap terjaga. Ketua Kotasejuk, Amin Fuadi, dalam sambutannya mengungkapkan perjuangan tim selama proses pengiriman. “Kami berangkat sore hari dalam kondisi hujan deras. Kendaraan pengangkut fosil berjalan perlahan agar tidak menimbulkan kerusakan. Alhamdulillah, semua tiba dengan selamat,” tutur Amin.

Fosil yang dikirim merupakan hasil ekskavasi tahap kedua di Hutan Tritik, di mana sekitar 70 persen struktur tubuh Stegodon telah berhasil disingkap oleh tim gabungan. Setelah proses konservasi dan replikasi di Bandung, sebagian hasilnya akan kembali ke Nganjuk untuk menjadi koleksi utama Site Museum Stegodon Tritik yang kini sedang dalam tahap penyelesaian akhir.
Dari Tritik untuk Indonesia

Bagi Kotasejuk, keterlibatan dalam proses ini merupakan kehormatan sekaligus bukti nyata kontribusi komunitas dalam pelestarian geowarisan.
Selama ekskavasi, anggota Kotasejuk turut membantu dokumentasi, logistik, serta kegiatan penanaman pohon di sekitar lokasi fosil sebagai bentuk tanggung jawab ekologis. “Kami merasa bangga bisa ikut dalam langkah besar ini. Semoga kolaborasi ini menjadi pintu bagi kegiatan konservasi lain di masa depan,” ungkap salah satu anggota Kotasejuk yang ikut serta dalam perjalanan.

Kotasejuk menilai bahwa pengembangan Site Museum Tritik akan menjadi tonggak penting bagi Nganjuk dalam bidang konservasi, edukasi, dan pariwisata geologi. Selain sebagai sarana penelitian, museum ini diharapkan dapat memperkuat identitas daerah sebagai wilayah dengan potensi geologi yang luar biasa.
Harapan ke Depan

Dengan dukungan Museum Geologi Bandung dan Badan Geologi Indonesia, Kotasejuk berharap keberadaan Site Museum Stegodon Tritik dapat menjadi pusat pembelajaran masyarakat mengenai sejarah bumi, sekaligus wadah kreativitas bagi generasi muda Nganjuk untuk mengenal warisan alamnya sendiri. “Kami percaya, melestarikan fosil bukan hanya menjaga masa lalu, tapi juga menanam masa depan,” tutup Amin Fuadi.

Penulis: John

Dokumentasi Kegiatan

Sabtu, 01 November 2025

Kotasejuk Tanam Pohon Tabebuya di Lokasi Ekskavasi Fosil Stegodon Tritik

Kotasejuk Tanam Pohon Tabebuya di Lokasi Ekskavasi Fosil Stegodon Tritik

Setelah turut membantu proses ekskavasi fosil Stegodon bersama tim Museum Geologi Bandung dan Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Nganjuk, komunitas Kotasejuk kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan dengan melakukan penanaman pohon di kawasan hutan Tritik, Rejoso, setelah semua fosil berhasil di angkut keluar kawasan hutan.

Sejumlah bibit pohon Tabebuya ditanam oleh anggota Kotasejuk di sekitar area ekskavasi pada Sabtu (1/11/2025). Kegiatan ini menjadi bagian dari langkah nyata komunitas dalam menjaga kelestarian alam sekaligus memperindah kawasan yang menjadi saksi penemuan penting fosil gajah purba di Nganjuk.

Penanaman pohon ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem di sekitar lokasi ekskavasi serta menegaskan komitmen Kotasejuk dalam menggabungkan pelestarian sejarah dan lingkungan. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat menjadi contoh sinergi antara penelitian arkeologi dan kepedulian ekologis.

Melalui kegiatan ini, Kotasejuk berharap kawasan hutan Tritik dapat menjadi ruang edukatif terbuka yang tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga menghadirkan keindahan dan kesejukan bagi generasi mendatang. Pohon Tabebuya yang ditanam akan menjadi simbol harapan baru bahwa setiap penemuan sejarah juga perlu disertai upaya menjaga kehidupan alam di sekitarnya.

Selain berfungsi memperkuat kondisi tanah di area perbukitan yang rawan erosi, keberadaan pohon Tabebuya akan memberikan manfaat ekologis seperti meningkatkan kualitas udara, meneduhkan kawasan, serta mendukung wisata edukatif berbasis konservasi.

“Kami ingin menunjukkan bahwa pelestarian sejarah dan pelestarian alam bisa berjalan beriringan. Hutan bukan hanya tempat ditemukannya fosil, tetapi juga ruang kehidupan yang harus terus dijaga,” kata Aris Trio Effendi, salah satuPegiat Kotasejuk.

Kegiatan ini menjadi penutup yang bermakna dari rangkaian kegiatan Kotasejuk di kawasan ekskavasi Stegodon. Dari penemuan jejak masa purba hingga penanaman harapan baru, Kotasejuk terus melangkah menjaga warisan bumi dan sejarah Nganjuk.

Penulis : John

Dokumentasi kegiatan :