Rabu, 01 Oktober 2025

Situasi Indonesia Pasca G30S 1965


Laporan Situasi Indonesia Pasca G30S 1965

Penangkapan dan Senjata dari Tiongkok

Puluhan komunis yang ditangkap dijaga ketat di salah satu tempat penahanan sementara, yaitu ruang bawah tanah gedung Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta, yang saat itu masih dalam tahap pembangunan (18 lantai).

Sejak 1 Oktober, pihak militer telah menyita sekitar 300 pucuk senjata api, termasuk stengun, yang sebelumnya dibagikan kepada para pengacau komunis. Lebih dari setengahnya dapat ditelusuri berasal dari komunis Tiongkok, sementara sisanya buatan dari berbagai negara lain.

Semua ultimatum kepada sekitar 4.000 pemberontak (kekuatan lima batalyon) agar menyerah telah berakhir. Anggota pasukan pengawal presiden, AU, serta dua batalyon dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang terlibat kini dianggap deserteur (desersi). Bila tertangkap, mereka dihukum mati kecuali menyerahkan diri secara sukarela.

Pengejaran dan Penggerebekan

Mayoritas pemberontak komunis berusaha menghindari penangkapan dengan bersembunyi. Satuan komando militer dan polisi terus menyisir kampung-kampung di sekitar Jakarta, sering kali mendapati rumah kosong yang ditinggalkan terburu-buru.

Di rumah Njoto (Nyoto), salah satu wakil ketua PKI, massa menemukan baju penuh darah dengan banyak lubang peluru serta seragam perwira pertama. Surat kabar *Mimbar Revolusi* yang terafiliasi dengan NU melaporkan hal ini.

Sementara itu, rumah Ketua PKI D.N. Aidit yang sejak awal kudeta menghilang, dirusak massa. Radio, televisi, sepeda motor, dan barang-barang lainnya dibakar. Dokumen-dokumen penting yang ditemukan diserahkan kepada aparat.

Hari Jumat, tepat seminggu setelah pembantaian enam jenderal di Lubang Buaya, menjadi hari pembalasan rakyat. Namun, sehari sebelumnya Presiden Soekarno dalam sidang kabinet di Bogor meminta rakyat menahan diri. Ia memperingatkan bahwa dendam hanya akan memperdalam perpecahan bangsa dan menguntungkan “Nekolim” (neo-kolonialis, kolonialis, dan imperialis).

Krisis Ekonomi dan Harga Rakyat

Sementara situasi politik memanas, harga kebutuhan pokok melambung drastis. Rata-rata harga beras, makanan pokok rakyat, naik dari Rp150 per liter pada awal tahun menjadi Rp900 per liter, dan kini melonjak lagi hingga Rp1.200 per liter.

Ketidakpastian ini membuat warga di kota-kota besar, terutama Jakarta, melakukan aksi borong (hamsterwoede). Banyak pedagang, sebagian besar etnis Tionghoa, dituding memanfaatkan keadaan untuk menaikkan harga lebih tinggi lagi.

Nilai tukar rupiah juga merosot. Kurs dolar AS di pasar gelap meroket dari Rp10.000 menjadi Rp16.000 hanya dalam hitungan hari.

Waspada Keadaan Darurat

Melihat kondisi genting, sejumlah kedutaan asing di Jakarta mulai menyiapkan langkah-langkah darurat. Misalnya, Kedutaan Besar Belanda melalui Dubes Mr. E.L.C. Schiff membagi komunitas Belanda di Jakarta ke dalam enam kelompok kecil, masing-masing dengan seorang koordinator kontak. Hal ini untuk memastikan komunikasi jika keadaan memburuk dan kontak langsung dengan kedutaan tidak mungkin dilakukan.

Kekacauan juga menjalar ke jantung kota. Di kompleks Hotel Indonesia, aparat menangkap enam orang simpatisan komunis. Bahkan seorang anggota PKI melompat bunuh diri dari atap gedung setinggi 15 lantai ketika aparat melakukan penggerebekan.

Razia dan Tanda-Tanda Kejatuhan PKI

Militer terus melakukan razia besar-besaran di Jakarta. Truk-truk penuh tahanan komunis dengan tangan diikat dan bayonet terhunus menjadi pemandangan sehari-hari.

Kantor organisasi mahasiswa komunis di Jalan Cirebon ditutup. Dari hasil penggeledahan ditemukan logbook yang merinci setiap gerak-gerik Menteri Polisi yang pernah tinggal di seberang gedung.

Upaya para kader PKI untuk menghapus jejak dengan mencopot papan bergambar palu-arit dari kantor-kantor cabang juga gagal. Banyak yang tertangkap saat mencoba menghancurkan papan-papan tersebut. Ironisnya, sebulan sebelumnya merekalah yang dengan penuh semangat menumbangkan papan milik Partai Murba — partai yang dilarang Soekarno karena keras menentang PKI.

Soekarno, Islam, dan Ancaman “Vietnam Kedua”

Pada 11 Oktober 1965, laporan asing menuliskan gambaran: Indonesia, yang terkoyak oleh konflik politik, masih berada di bawah kendali Soekarno. Ia berusaha menahan militer dan kelompok kanan agar tidak menghancurkan keseimbangan, tetapi tuntutan semakin keras.

Kelompok Islam — terutama NU dan Masyumi (meski secara formal sudah dibubarkan) — bersama kaum Katolik dan kekuatan non-komunis lain membentuk aliansi untuk menekan Soekarno. Tuntutan mereka jelas: PKI harus dibubarkan.

Kegagalan kudeta yang menewaskan enam jenderal dan lebih dari 20 korban lain membuat situasi di Jawa begitu tegang. Banyak kalangan internasional mulai khawatir Indonesia akan berubah menjadi “Vietnam kedua”, yakni medan perang ideologi antara blok Barat dan komunis.

Sebagai tanda keseriusan krisis, pasukan elit Divisi Siliwangi ditempatkan di Jakarta, status darurat perang diberlakukan, jam malam ketat ditegakkan, dan telegram atau berita yang dikirim lewat kantor telegraf diawasi penuh oleh militer.

Kesimpulan

Laporan-laporan ini menunjukkan betapa gentingnya situasi Indonesia pada Oktober 1965. Setelah peristiwa G30S, negara terombang-ambing antara kendali Presiden Soekarno yang masih melindungi PKI, tekanan militer dan kelompok Islam yang menuntut pembubaran PKI, serta kondisi ekonomi rakyat yang makin parah.

Indonesia berada di persimpangan: tetap setia pada politik Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) ala Soekarno, atau menuju pembasmian total PKI yang akhirnya benar-benar terjadi pada akhir 1965 hingga 1966.

(Sumber : Laporan Frank de Jong
Koresponden ANP di Jakarta dalam Surat Kabar De Volkskrant, 11 Oktober 1965 )

Penulis : John