Rabu, 25 Juni 2025
KAJIAN ESTETIKA MOTIF KAWUNGAN MEDANGAN PADA PAKAIAN KAPRAWIRAN PANDITENAN KHAS NGANJUK
Minggu, 22 Juni 2025
PENELUSURAN JEJAK CANDI KUNO DI PRAMBON NGANJUK
Jumat, 20 Juni 2025
FILM DETEKTOR
Film lokal ini bentuk kreatifitas atas keresahan kalangan pecinta sejarah dan budaya karena banyaknya objek cagar budaya yang rusak akibat penjarahan orang tidak bertanggung jawab.
Film ini mengangkat kisah dua sahabat yang nekat berburu benda-benda kuno di hutan demi mengubah nasib hidup yang terhimpit ekonomi.
Disutradarai oleh Sukadi sekaligus penulis naskah, Detektor diproduksi oleh komunitas pegiat sejarah dan ekologi KOTASEJUK. Film ini tak hanya menawarkan petualangan fisik menembus hutan dan medan terjal, tetapi juga petualangan batin para tokohnya—terutama Nino, seorang ayah pengangguran yang terdesak kebutuhan hidup.
Alih-alih menemukan harta karun seperti yang diimpikan, pencarian tersebut justru membawa mereka pada kenyataan yang lebih besar: pentingnya menjaga warisan budaya dan alam. Sepanjang perjalanan, penonton diajak merenungkan makna keserakahan, persahabatan, dan tanggung jawab terhadap sejarah.
Produksi film ini jauh dari kata mudah. Johnarief, editor sekaligus astrada dan kameramen, mengungkapkan tantangan berat selama proses penggarapan.
“Film ini diproduksi dengan peralatan yang super minim, hanya menggunakan tiga kamera dengan resolusi dan ekstensi berbeda. Tingkat kesulitannya luar biasa saat proses editing, apalagi semua diedit hanya lewat HP,” ungkapnya.
Sementara itu, Amin Fuadi, Ketua KOTASEJUK sekaligus salah satu kru lapangan, menyatakan bahwa Detektor merupakan tonggak sejarah pertama bagi komunitasnya.
“Ini pertama kalinya film diproduksi penuh oleh Kotasejuk sendiri. Dari pemeran, kameramen, semua merangkap tugas. Sutradara juga jadi pemain, kameramen, bahkan saya sendiri ambil gambar dan sampai lupa kalau ternyata ada adegan yang nggak terekam,” ujarnya sambil tertawa.
Meski menyadari film ini jauh dari kata sempurna, Amin menegaskan bahwa KOTASEJUK tetap bangga dan optimistis.
“Kami bertekad mengirimkan karya nekad ini ke Kementerian Kebudayaan, sebagai bentuk kontribusi kami dalam melestarikan sejarah dan budaya, meskipun masih banyak yang perlu dikoreksi dan diperbaiki kedepan,” tambahnya.
Film Detektor tayang perdana di kanal YouTube AG CYBER TV sebagai media edukasi dan apresiasi terhadap pelestarian warisan budaya, sebelum dipublikasi film ini ditonton bersama di Museum Anjuk Ladang Nganjuk pada Kamis malam (19/6).
Dengan sinematografi yang natural, naskah kuat, dan pesan moral yang mendalam, Detektor menjadi film lokal penuh semangat gotong royong yang patut diapresiasi.
Penulis : John
Kamis, 19 Juni 2025
MASJID AL MUBAROK BERBEK: MONUMEN KEJUANGAN BUPATI SOSROKUSUMO (KANJENG JIMAT)
Selasa, 17 Juni 2025
Candi Ngetos dan Identitas Paramasakapura, Menimbang Ulang Pendharmaan Raja Majapahit
![]() |
Candi Ngetos . Foto : John/agcybertv |
Candi Ngetos, yang terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, merupakan salah satu peninggalan arkeologis penting yang berdiri megah di tengah permukiman penduduk. Candi ini bercorak Hindu-Siwa, sebagaimana dibuktikan melalui penemuan arca-arca Siwa dan Wisnu di sekitarnya. Secara umum, para ahli memperkirakan bahwa Candi Ngetos dibangun pada abad ke-15 Masehi, pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Konstruksi bangunannya khas candi Majapahit, menggunakan bahan batu bata merah dan menghadap ke arah matahari tenggelam—suatu orientasi yang sering kali bermakna simbolis dalam kebudayaan Hindu-Jawa.
Candi ini diketahui pernah mengalami restorasi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sayangnya, metode restorasi tersebut menggunakan campuran semen yang tidak sesuai dengan teknik asli pembangunan candi berbahan bata merah. Secara tradisional, teknik penyusunan bata merah dalam pembangunan candi dilakukan dengan sistem gosok dan menggunakan air sebagai perekat alami, sehingga menghasilkan struktur yang menyatu dan tahan lama.
Hingga kini, nama asli dari Candi Ngetos masih menjadi perdebatan di kalangan arkeolog dan sejarawan. Belum ditemukan sumber otentik, baik berupa prasasti maupun naskah sezaman, yang secara tegas menyebutkan nama, pendiri, maupun fungsi utama dari candi ini. Namun demikian, berkembang keyakinan yang cukup populer bahwa Candi Ngetos merupakan tempat pendharmaan Raja keempat Majapahit, Sri Hayam Wuruk. Dugaan ini merujuk pada nama Paramasakapura, yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai tempat pendharmaan raja tersebut.
Namun demikian, hasil telaah terhadap Pararaton Biografi Para Raja Singhasari–Majapahit (Heri Purwanto, 2023), khususnya pada halaman 414 dan 422, memberikan perspektif baru yang menarik. Pada halaman 414 disebutkan bahwa:
“Bhra Hyang Wekasing Suka mokta, i saka Medini-rupa-rameku, 1311.”
Yang diterjemahkan sebagai:
“Bhra Hyang Wekasing Suka (Sri Hayam Wuruk) wafat pada tahun Saka 1311 (1389 Masehi).”
Dalam konteks ini, Bhra Hyang Wekasing Suka diyakini sebagai gelar anumerta dari Sri Hayam Wuruk, yang bermakna "yang diperdewakan sebagai akhir dari kesenangan." Menariknya, tidak disebutkan di mana dan apa nama pendharmaannya secara eksplisit.
Lebih lanjut, pada halaman 422 dari buku yang sama tertulis:
“Bhra Hyang Wekasing Suka mokta, sang mokta ring Indrabhawana, i sakajanma-netragni-silangsu, 1321, sang dhinarmeng Tajung, bhisekaning dharma ring Paramasakapura.”
Yang berarti:
“Bhra Hyang Wekasing Suka wafat, berpulang ke Indrabhawana (kahyangan Indra) pada tahun Saka 1321 (1399 M), dan dicandikan di Tajung dengan nama pendharmaan Paramasakapura.”
Jika dicermati secara kronologis, Bhra Hyang Wekasing Suka yang disebut dalam kutipan terakhir tidak mungkin merujuk pada Hayam Wuruk, karena telah wafat sepuluh tahun sebelumnya. Maka, sangat mungkin bahwa gelar Bhra Hyang Wekasing Suka ini merujuk pada cucunya—putra dari Wikramawardhana dan Kusumawardhani—yang mewarisi nama anumerta yang sama.
Dengan demikian, asumsi bahwa Candi Ngetos merupakan tempat pendharmaan Hayam Wuruk patut dikaji ulang secara kritis. Sebaliknya, ada indikasi kuat bahwa pendharmaan yang disebut sebagai Paramasakapura di wilayah bernama Tajung (yang diduga sebagai nama kuna dari Ngetos) adalah milik cucu Hayam Wuruk yang juga bergelar Bhra Hyang Wekasing Suka.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa identifikasi "Tajung" sebagai nama lama dari Desa Ngetos pun masih berada dalam ranah spekulatif. Minimnya data arkeologis maupun filologis yang dapat dijadikan rujukan membuat posisi Tajung dalam peta sejarah Jawa Timur masih terbuka untuk interpretasi.
Sejarah pada hakikatnya bersifat dinamis. Ia senantiasa dapat berubah seiring dengan penemuan baru dan pendekatan ilmiah yang lebih cermat. Selama belum ditemukan bukti otentik seperti prasasti atau dokumen sezaman yang secara eksplisit menyebutkan fungsi Candi Ngetos, maka seluruh dugaan—baik bahwa candi ini adalah pendharmaan Hayam Wuruk, cucunya, atau bahkan bangunan dari masa Medang—masih sah untuk diajukan. Tentu saja, setiap klaim historis tersebut harus didukung dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Sebagai penutup, Candi Ngetos adalah warisan budaya yang layak dijaga dan diteliti lebih lanjut. Menelusuri jejak sejarahnya tidak hanya akan memperkaya pemahaman kita tentang masa lampau, tetapi juga menjadi bagian dari upaya merawat identitas budaya bangsa yang berakar dari kebesaran peradaban Nusantara.
Penulis : John
Tulisan ini juga tayang di media AG CYBER