Jumat, 07 November 2025

Kotasejuk Serahkan Fosil Stegodon Tritik ke Museum Geologi Bandung


Langkah Penting Menuju Konservasi dan Edukasi Geologi di Nganjuk

Bandung, 6 November 2025

Setelah melalui perjalanan panjang dan penuh kehati-hatian, tim dari Dinas Porabudpar Kabupaten Nganjuk, Museum Anjuk Ladang, dan Komunitas Kotasejuk akhirnya berhasil mengantarkan fosil Stegodon hasil ekskavasi di Hutan Tritik, Rejoso, ke Museum Geologi Bandung.

Rombongan berangkat dari Nganjuk pada Rabu (5/11/2025) sore, menempuh perjalanan lebih dari 12 jam di tengah hujan deras dan medan yang berat. Kamis pagi pukul 05.00 WIB, tim tiba di Bandung dan disambut langsung oleh Ketua Tim Penyelidikan dan Konservasi Museum Geologi, Unggul Prasetyo Wibowo, yang sebelumnya juga memimpin ekskavasi di Nganjuk.
Momen Bersejarah di Auditorium Museum Geologi

Prosesi serah terima fosil dilaksanakan di Auditorium Museum Geologi Bandung. Kegiatan ini dihadiri oleh Kepala Museum Geologi, Isnu Hajar Sulistyawan, bersama jajaran tim konservasi dan edukasi. Dari pihak Nganjuk hadir Kabid Kebudayaan Disporabudpar sekaligus Ketua Kotasejuk, Amin Fuadi, beserta anggota komunitas Kotasejuk yang turut mendampingi pengiriman fosil.

Acara berlangsung khidmat dan penuh rasa haru. Kepala Museum Geologi, Isnu Hajar Sulistyawan, menyampaikan apresiasi tinggi atas kolaborasi yang terjalin antara lembaga pemerintah, museum daerah, dan komunitas lokal.

“Penemuan fosil Stegodon di Nganjuk bukan sekadar temuan arkeologi, tetapi juga kontribusi ilmiah untuk bangsa. Kami akan mendampingi proses konservasi dan membantu pengembangan site museum di Tritik,” ujar Isnu dalam sambutannya.

Ia menambahkan bahwa program Site Museum menjadi salah satu agenda prioritas nasional di bidang geologi dan edukasi publik. Keberadaan site museum di Nganjuk diharapkan tidak hanya memperkuat upaya konservasi, tetapi juga membuka peluang pengembangan ekonomi lokal berbasis wisata edukatif.
Perjalanan Panjang, Penuh Kehati-hatian

Dari sisi Kotasejuk, perjalanan kali ini bukan hanya soal logistik, tetapi juga tanggung jawab moral untuk memastikan warisan bumi tetap terjaga. Ketua Kotasejuk, Amin Fuadi, dalam sambutannya mengungkapkan perjuangan tim selama proses pengiriman. “Kami berangkat sore hari dalam kondisi hujan deras. Kendaraan pengangkut fosil berjalan perlahan agar tidak menimbulkan kerusakan. Alhamdulillah, semua tiba dengan selamat,” tutur Amin.

Fosil yang dikirim merupakan hasil ekskavasi tahap kedua di Hutan Tritik, di mana sekitar 70 persen struktur tubuh Stegodon telah berhasil disingkap oleh tim gabungan. Setelah proses konservasi dan replikasi di Bandung, sebagian hasilnya akan kembali ke Nganjuk untuk menjadi koleksi utama Site Museum Stegodon Tritik yang kini sedang dalam tahap penyelesaian akhir.
Dari Tritik untuk Indonesia

Bagi Kotasejuk, keterlibatan dalam proses ini merupakan kehormatan sekaligus bukti nyata kontribusi komunitas dalam pelestarian geowarisan.
Selama ekskavasi, anggota Kotasejuk turut membantu dokumentasi, logistik, serta kegiatan penanaman pohon di sekitar lokasi fosil sebagai bentuk tanggung jawab ekologis. “Kami merasa bangga bisa ikut dalam langkah besar ini. Semoga kolaborasi ini menjadi pintu bagi kegiatan konservasi lain di masa depan,” ungkap salah satu anggota Kotasejuk yang ikut serta dalam perjalanan.

Kotasejuk menilai bahwa pengembangan Site Museum Tritik akan menjadi tonggak penting bagi Nganjuk dalam bidang konservasi, edukasi, dan pariwisata geologi. Selain sebagai sarana penelitian, museum ini diharapkan dapat memperkuat identitas daerah sebagai wilayah dengan potensi geologi yang luar biasa.
Harapan ke Depan

Dengan dukungan Museum Geologi Bandung dan Badan Geologi Indonesia, Kotasejuk berharap keberadaan Site Museum Stegodon Tritik dapat menjadi pusat pembelajaran masyarakat mengenai sejarah bumi, sekaligus wadah kreativitas bagi generasi muda Nganjuk untuk mengenal warisan alamnya sendiri. “Kami percaya, melestarikan fosil bukan hanya menjaga masa lalu, tapi juga menanam masa depan,” tutup Amin Fuadi.

Penulis: John

Dokumentasi Kegiatan

Sabtu, 01 November 2025

Kotasejuk Tanam Pohon Tabebuya di Lokasi Ekskavasi Fosil Stegodon Tritik

Kotasejuk Tanam Pohon Tabebuya di Lokasi Ekskavasi Fosil Stegodon Tritik

Setelah turut membantu proses ekskavasi fosil Stegodon bersama tim Museum Geologi Bandung dan Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Nganjuk, komunitas Kotasejuk kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan dengan melakukan penanaman pohon di kawasan hutan Tritik, Rejoso, setelah semua fosil berhasil di angkut keluar kawasan hutan.

Sejumlah bibit pohon Tabebuya ditanam oleh anggota Kotasejuk di sekitar area ekskavasi pada Sabtu (1/11/2025). Kegiatan ini menjadi bagian dari langkah nyata komunitas dalam menjaga kelestarian alam sekaligus memperindah kawasan yang menjadi saksi penemuan penting fosil gajah purba di Nganjuk.

Penanaman pohon ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem di sekitar lokasi ekskavasi serta menegaskan komitmen Kotasejuk dalam menggabungkan pelestarian sejarah dan lingkungan. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat menjadi contoh sinergi antara penelitian arkeologi dan kepedulian ekologis.

Melalui kegiatan ini, Kotasejuk berharap kawasan hutan Tritik dapat menjadi ruang edukatif terbuka yang tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga menghadirkan keindahan dan kesejukan bagi generasi mendatang. Pohon Tabebuya yang ditanam akan menjadi simbol harapan baru bahwa setiap penemuan sejarah juga perlu disertai upaya menjaga kehidupan alam di sekitarnya.

Selain berfungsi memperkuat kondisi tanah di area perbukitan yang rawan erosi, keberadaan pohon Tabebuya akan memberikan manfaat ekologis seperti meningkatkan kualitas udara, meneduhkan kawasan, serta mendukung wisata edukatif berbasis konservasi.

“Kami ingin menunjukkan bahwa pelestarian sejarah dan pelestarian alam bisa berjalan beriringan. Hutan bukan hanya tempat ditemukannya fosil, tetapi juga ruang kehidupan yang harus terus dijaga,” kata Aris Trio Effendi, salah satuPegiat Kotasejuk.

Kegiatan ini menjadi penutup yang bermakna dari rangkaian kegiatan Kotasejuk di kawasan ekskavasi Stegodon. Dari penemuan jejak masa purba hingga penanaman harapan baru, Kotasejuk terus melangkah menjaga warisan bumi dan sejarah Nganjuk.

Penulis : John

Dokumentasi kegiatan :

Jumat, 31 Oktober 2025

Perlindungan Hukum atas Fosil Stegodon: “Kelalaian Bisa Berujung Pidana!”



KOTASEJUK Tegaskan Perlindungan Hukum atas Fosil Stegodon: “Kelalaian Bisa Berujung Pidana!”

Penemuan fosil Stegodon, gajah purba dari zaman Pleistosen, di Hutan Tritik, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, menjadi sorotan dunia arkeologi. Namun di balik temuan ilmiah tersebut, Divisi Hukum KOTASEJUK (Komunitas Pecinta Sejarah Kabupaten Nganjuk) menegaskan pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap objek cagar budaya agar tidak terjadi pelanggaran yang berujung pidana.

Menurut Prayogo Laksono, S.H., M.H., selaku Divisi Hukum KOTASEJUK, seluruh pihak — baik individu, lembaga, maupun korporasi seperti Perhutani — memiliki kewajiban hukum untuk menjaga dan melestarikan setiap temuan purbakala. Hal ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

“Menghalangi atau mengabaikan upaya penyelamatan fosil purba merupakan pelanggaran serius. Sanksinya bisa berupa penjara hingga 15 tahun dan denda miliaran rupiah,” tegas Prayogo dalam kajian hukumnya, Selasa (7/10/2025).

Tanggung Jawab Hukum dan Peran Negara

Prayogo menjelaskan, Pasal 56 hingga 59 UU Cagar Budaya mengatur kewajiban seluruh pihak untuk menjaga, menyelamatkan, dan memelihara cagar budaya dari kerusakan, pencurian, maupun pemindahan tanpa izin. Pemerintah daerah dan pengelola kawasan hutan, termasuk Perhutani, memiliki tanggung jawab langsung untuk memastikan keamanan temuan tersebut.

“Pemerintah dan Perhutani tidak boleh abai. Mereka wajib melindungi fosil dari ancaman pelapukan dan eksploitasi,” ujarnya.

KOTASEJUK mengapresiasi langkah cepat Disporabudpar Nganjuk bersama Perhutani yang telah mendukung proses ekskavasi fosil Stegodon. Tindakan tersebut dinilai sejalan dengan Pasal 59 UU Cagar Budaya, yang menegaskan peran aktif pemerintah dalam upaya pelestarian warisan sejarah.

“Ini bukti nyata pelaksanaan amanat konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 — negara wajib memajukan kebudayaan nasional dan menjamin masyarakat dalam melestarikan nilai budayanya,” tambahnya.

Sanksi Pidana dan Tanggung Jawab Pejabat

Dalam penjelasannya, Prayogo menyoroti beberapa pasal penting dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 yang memberikan sanksi berat bagi pelanggaran terhadap cagar budaya:

  • Pasal 104: Menghalangi pelestarian cagar budaya dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda Rp500 juta.

  • Pasal 105: Merusak cagar budaya diancam pidana 1–15 tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar.

  • Pasal 114: Jika pelanggaran dilakukan oleh pejabat, hukuman dapat ditambah sepertiga dari pidana pokok.

“Ini bukan sekadar urusan moral, tapi persoalan pidana. Pembiaran atau kelalaian dapat dianggap sebagai pengabaian kewajiban hukum,” tegas Prayogo.

Perhutani dan Perlindungan Kawasan Hutan Tritik

Sebagai pengelola kawasan hutan, Perhutani disebut memiliki tanggung jawab langsung terhadap keberadaan fosil Stegodon. Berdasarkan Pasal 57, 59, dan 61 UU Cagar Budaya, setiap instansi yang menguasai lahan tempat ditemukannya cagar budaya wajib menjamin keamanan dan kelestariannya.

“Hutan Tritik bukan hanya ruang konservasi alam, tetapi juga ruang sejarah bangsa. Perhutani harus aktif menjaga dan mengamankan fosil tersebut,” ujar Prayogo.

Status Hukum Fosil Stegodon

Temuan Stegodon di Nganjuk kini telah berstatus ODCB (Objek Diduga Cagar Budaya) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022. Status ini memberikan perlindungan hukum penuh — fosil tidak boleh dipindahkan, dijual, atau dimusnahkan tanpa izin resmi dari otoritas berwenang.

“Dengan status ODCB, fosil Stegodon telah menjadi objek hukum. Menyentuh atau memindahkannya tanpa izin sama dengan melanggar undang-undang,” jelasnya.

Penutup

Prayogo menegaskan kembali bahwa pelestarian warisan prasejarah bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat.

“Cagar budaya bukan milik individu, melainkan warisan bangsa. Fosil Stegodon adalah saksi sejarah bumi Anjuk Ladang yang tak ternilai. Hukum sudah memberi dasar, kini tinggal keberanian kita untuk menegakkannya,” pungkasnya.


(John)

Minggu, 26 Oktober 2025

KOTASEJUK DALAM PAMERAN PERADABAN PRASEJARAH NUSANTARA 2025

Museum Anjuk Ladang, Nganjuk | 23–25 Oktober 2025

Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk (Kotasejuk) turut ambil bagian dalam Pameran Peradaban Prasejarah Nusantara 2025 yang diselenggarakan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Nganjuk di Museum Anjuk Ladang pada tanggal 23–25 Oktober 2025.

Partisipasi Kotasejuk dalam kegiatan ini menjadi bentuk kontribusi nyata komunitas lokal dalam mendukung pelestarian warisan sejarah dan kebudayaan prasejarah di wilayah Nganjuk. Melalui pameran ini, Kotasejuk menampilkan berbagai dokumentasi lapangan dan temuan hasil penelitian bersama lembaga profesional di bidang arkeologi dan geologi.

1. Dokumentasi Ekskavasi Fosil Gajah Purba Stegodon

Dalam stan pameran, Kotasejuk menampilkan foto-foto kegiatan ekskavasi fosil Gajah Purba jenis Stegodon trigonochephalus yang dilakukan bersama Tim Museum Geologi Bandung dan Disporabudpar Nganjuk di kawasan Hutan Tritik, Kecamatan Rejoso.

Pengunjung juga dapat melihat visualisasi ilmiah perbandingan antara Gajah Modern dan Stegodon, serta peta sebaran lokasi survei arkeologi di wilayah Rejoso dan sekitarnya. Tidak ketinggalan, panel infografis tentang evolusi gajah di Nusantara menjadi daya tarik tersendiri bagi pelajar dan pemerhati ilmu prasejarah yang hadir.

2. Peninjauan Budaya Megalitikum di Gunung Pandan

Selain ekskavasi, Kotasejuk juga menampilkan hasil peninjauan situs-situs megalitikum di kawasan Gunung Pandan, yang terletak di perbatasan Kecamatan Rejoso.

Dalam dokumentasi tersebut, terlihat berbagai tinggalan arkeologis, antara lain:

Bak mandi batu andesit (sarkofagus),
Menhir berelief manusia kangkang,
Menhir terbesar di Nganjuk yang berada di Banaran Kulon,
Menhir Punden Joko Dolog, dan
Menhir berukir kepala ular.

Seluruh objek ini ditemukan di kawasan hutan Tritik, yang diyakini menjadi salah satu situs penting masa prasejarah di lereng Gunung Pandan, bagian dari Pegunungan Kendeng Utara.

3. Temuan Fosil dan Cagar Budaya Prasejarah di Pegunungan Kendeng

Pameran Kotasejuk juga menampilkan foto-foto peninjauan objek diduga cagar budaya prasejarah di kawasan Pegunungan Kendeng.

Temuan tersebut mencakup fosil-fosil kerang laut yang tersebar hampir di seluruh wilayah Dusun Lengkong Geneng, Pule, dan Jatikalen, menunjukkan indikasi geologis bahwa kawasan ini dulunya merupakan dasar laut purba.

Selain itu, pengunjung dapat menyaksikan dokumentasi proses eksplorasi dan ekskavasi fosil binatang darat di kawasan hutan Tritik, termasuk fosil gading Gajah Purba (Stegodon) yang diekskavasi bersama Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran.

Kotasejuk turut menampilkan tahapan pengangkatan fosil gading dari lokasi ekskavasi hingga proses konservasi awal, yang menggambarkan sinergi antara komunitas lokal dan lembaga nasional dalam upaya pelestarian benda cagar budaya.

4. Koleksi Fosil Asli

Sebagai pelengkap, Kotasejuk juga memamerkan sejumlah fosil asli hasil temuan lapangan, di antaranya:

Fosil kerang laut purba,
Gigi Stegodon, dan
Fosil Bovidae (kelompok hewan pemamah biak).

Ketiga jenis fosil tersebut menjadi bukti nyata bahwa wilayah Nganjuk menyimpan potensi geologi dan arkeologi yang sangat kaya, mencerminkan lapisan kehidupan masa lampau dari era prasejarah hingga zaman hewan besar (megafauna).

5. Semangat Pelestarian dan Edukasi Publik

Melalui keikutsertaan dalam Pameran Peradaban Prasejarah Nusantara 2025, Kotasejuk tidak hanya memperkenalkan hasil penelusuran dan penelitian lapangan, tetapi juga mengajak masyarakat luas untuk mengenal, menghargai, dan melestarikan warisan sejarah serta ekologi bumi Nganjuk.

Kotasejuk berkomitmen terus bergerak sebagai komunitas independen yang berperan aktif dalam riset, edukasi publik, dan konservasi peninggalan budaya, dengan semangat "Cinta Sejarah, Cinta Alam, Cinta Nganjuk."

Refleksi: Jejak di Tanah Leluhur, Cahaya bagi Generasi Mendatang

Partisipasi Kotasejuk dalam Pameran Peradaban Prasejarah Nusantara 2025 bukan sekadar ajang menampilkan hasil penelusuran dan penelitian, tetapi juga menjadi wujud nyata kecintaan terhadap tanah leluhur. Setiap batu, fosil, dan artefak yang diungkap dari bumi Nganjuk bukan hanya benda mati, melainkan saksi bisu perjalanan panjang manusia dan alam yang membentuk peradaban di tanah ini.

Bagi Kotasejuk, melestarikan warisan prasejarah bukan tugas sementara, ini adalah panggilan nurani dan tanggung jawab moral untuk menjaga warisan yang dititipkan oleh masa lalu kepada generasi masa depan.

Di tengah keterbatasan dan tanpa dukungan besar, Kotasejuk tetap bergerak dengan keyakinan bahwa sejarah dan ekologi adalah dua napas yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dari lembah Kendeng hingga hutan Tritik, dari situs megalitik hingga jejak gading purba, komunitas ini terus menapaki jalan sunyi, jalan pelestarian, penelitian, dan pendidikan yang tumbuh dari hati rakyat Nganjuk sendiri.

"Hijau Bumiku, Lestari Sejarah dan Cagar Budayaku"

(john)

Dokumentasi kegiatan :

Partisipasi Kotasejuk dalam Ekskavasi Fosil Gajah Purba di Tritik, Nganjuk

Kolaborasi Komunitas Lokal dalam Penyelamatan Warisan Geologi Nusantara

Ekskavasi fosil gajah purba Stegodon trigonochephalus di Hutan Tritik, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, menjadi salah satu kegiatan ilmiah penting yang mempertemukan unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
Dalam kegiatan ini, Komunitas Kotasejuk (Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk) berperan aktif sejak tahap awal penemuan hingga pendampingan teknis lapangan.
Kotasejuk terlibat sejak proses identifikasi awal lokasi yang memiliki potensi geologi tinggi. Berdasarkan hasil penelusuran ekologis yang dilakukan pada tahun 2024, komunitas ini menemukan indikasi keberadaan fragmen tulang besar di lapisan tanah endapan sungai purba kawasan Tritik.
Temuan tersebut kemudian dilaporkan secara resmi kepada Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Nganjuk, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan koordinasi bersama Museum Geologi Bandung dari Badan Geologi Kementerian ESDM.

Peran Komunitas dalam Kegiatan Ekskavasi

Selama kegiatan ekskavasi berlangsung selama sepuluh hari, anggota Kotasejuk berpartisipasi aktif di lapangan.
Mereka membantu menyiapkan akses menuju area ekskavasi, mendukung kegiatan dokumentasi ilmiah dan visual, serta ikut menjaga kondisi situs agar tetap aman dari gangguan eksternal.
Kehadiran Kotasejuk juga menjadi jembatan antara tim peneliti dan masyarakat lokal, terutama dalam memberikan pemahaman mengenai pentingnya pelestarian fosil dan situs prasejarah.

Selain itu, komunitas ini turut berperan dalam membantu proses pencatatan posisi dan fragmen fosil bersama petugas teknis di lapangan. Kegiatan dilakukan secara hati-hati mengingat sebagian fosil belum mengalami fosilisasi sempurna dan rentan terhadap kerusakan akibat paparan air hujan.

Kontribusi dalam Edukasi dan Pelestarian

Partisipasi Kotasejuk tidak hanya terbatas pada kegiatan ekskavasi, tetapi juga berlanjut pada bidang edukasi publik.
Komunitas ini mengembangkan materi visual dan video dokumenter untuk memperkenalkan nilai-nilai ilmiah dari penemuan fosil Stegodon trigonochephalus kepada masyarakat luas, melalui kanal informasi dan media sosial berbasis edukasi.

Langkah ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran generasi muda terhadap pentingnya pelestarian warisan geologi dan sejarah alam Nganjuk.
Melalui pendekatan komunitas, kegiatan pelestarian tidak hanya bersifat ilmiah, tetapi juga menjadi gerakan sosial yang melibatkan partisipasi warga.

Sinergi Menuju Museum Situs Tritik

Ke depan, Komunitas Kotasejuk akan tetap berperan dalam pendampingan konservasi fosil serta pembangunan Museum Situs Tritik yang saat ini tengah disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Nganjuk.
Museum ini diharapkan menjadi pusat pembelajaran geologi dan arkeologi lokal, sekaligus simbol kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah dalam menjaga kekayaan ilmiah daerah.

Partisipasi Kotasejuk dalam kegiatan ekskavasi di Tritik menunjukkan bahwa pelestarian warisan budaya dan geologi dapat berjalan efektif melalui sinergi antara komunitas lokal, instansi pemerintah, dan lembaga penelitian nasional.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa semangat gotong royong dan kepedulian terhadap sejarah dapat menjadi fondasi utama dalam menjaga warisan ilmiah untuk generasi mendatang.
Komunitas Kotasejuk (Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk) merupakan organisasi masyarakat independen yang fokus pada penelitian, pendataan, dan pelestarian situs sejarah serta ekologi di wilayah Nganjuk dan sekitarnya.
Melalui kegiatan eksplorasi, edukasi, dan dokumentasi, Kotasejuk berupaya memperkuat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga warisan sejarah dan lingkungan sebagai bagian dari identitas daerah.

(John)

Kamis, 09 Oktober 2025

Kotasejuk Dampingi Disporabudpar Nganjuk Audiensi ke Kementerian Kebudayaan

Kotasejuk Dampingi Disporabudpar Nganjuk Audiensi ke Kementerian Kebudayaan

Dalam upaya memperkuat langkah pelestarian sejarah dan cagar budaya di Kabupaten Nganjuk, Komunitas Pelestari Sejarah dan Ekologi Nganjuk (Kotasejuk) turut mendampingi Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Nganjuk dalam audiensi dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Jakarta.
Audiensi tersebut menjadi momentum penting untuk menyampaikan sejumlah program dan potensi kebudayaan yang tengah dikembangkan di Nganjuk. Di hadapan Menteri Kebudayaan, Ketua Kotasejuk, Amin Fuadi, yang juga menjabat sebagai Kabid Kebudayaan Disporabudpar Nganjuk, memaparkan peran aktif Kotasejuk dalam penemuan, pendokumentasian, dan penyelamatan fosil Stegodon yang ditemukan di kawasan Hutan Tritik, Kecamatan Rejoso.
“Kami sampaikan bahwa proses awal penemuan dan penyelamatan dilakukan bersama komunitas Kotasejuk. Temuan ini bukan hanya tentang fosil purba, tetapi juga tentang semangat gotong royong masyarakat dalam menjaga warisan ilmu pengetahuan dan budaya,” ujar Amin Fuadi.

Dalam kesempatan tersebut, Disporabudpar bersama tim membawa berbagai artefak dan bahan presentasi, di antaranya fosil dan artefak hasil temuan Kotasejuk di Tritik, dua warangka keris, dupa dari pohon kemenyan putih, batu berlian lansdaleite meteorit, serta wayang thimplong bertokoh Dewi Sekartaji.
Kementerian Kebudayaan menyambut baik upaya pelestarian yang dilakukan bersama komunitas lokal. Menteri Fadli Zon bahkan menyampaikan ketertarikan untuk berkunjung langsung ke Nganjuk guna melihat proses ekskavasi fosil Stegodon. Bila struktur fosil tersebut lengkap, Kementerian berencana membuat replika Stegodon untuk ditampilkan di Museum Nasional.

Kotasejuk memandang langkah audiensi ini sebagai bentuk sinergi antara komunitas dan pemerintah, di mana masyarakat lokal tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga menjadi pelaku pelestarian warisan leluhur.

“Pelestarian bukan sekadar menjaga benda, tetapi juga menjaga makna. Kami di Kotasejuk percaya bahwa setiap fosil, setiap artefak, dan setiap cerita adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan,” tutur Amin Fuadi.

Kotasejuk berharap kerja sama ini dapat berlanjut dalam berbagai bentuk kegiatan — mulai dari ekskavasi ilmiah, riset bersama, hingga pembangunan Museum Prasejarah Nganjuk sebagai ruang edukasi dan inspirasi bagi generasi mendatang.

Penulis : John

Rabu, 01 Oktober 2025

Situasi Indonesia Pasca G30S 1965


Laporan Situasi Indonesia Pasca G30S 1965

Penangkapan dan Senjata dari Tiongkok

Puluhan komunis yang ditangkap dijaga ketat di salah satu tempat penahanan sementara, yaitu ruang bawah tanah gedung Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta, yang saat itu masih dalam tahap pembangunan (18 lantai).

Sejak 1 Oktober, pihak militer telah menyita sekitar 300 pucuk senjata api, termasuk stengun, yang sebelumnya dibagikan kepada para pengacau komunis. Lebih dari setengahnya dapat ditelusuri berasal dari komunis Tiongkok, sementara sisanya buatan dari berbagai negara lain.

Semua ultimatum kepada sekitar 4.000 pemberontak (kekuatan lima batalyon) agar menyerah telah berakhir. Anggota pasukan pengawal presiden, AU, serta dua batalyon dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang terlibat kini dianggap deserteur (desersi). Bila tertangkap, mereka dihukum mati kecuali menyerahkan diri secara sukarela.

Pengejaran dan Penggerebekan

Mayoritas pemberontak komunis berusaha menghindari penangkapan dengan bersembunyi. Satuan komando militer dan polisi terus menyisir kampung-kampung di sekitar Jakarta, sering kali mendapati rumah kosong yang ditinggalkan terburu-buru.

Di rumah Njoto (Nyoto), salah satu wakil ketua PKI, massa menemukan baju penuh darah dengan banyak lubang peluru serta seragam perwira pertama. Surat kabar Mimbar Revolusi yang terafiliasi dengan NU melaporkan hal ini.

Sementara itu, rumah Ketua PKI D.N. Aidit yang sejak awal kudeta menghilang, dirusak massa. Radio, televisi, sepeda motor, dan barang-barang lainnya dibakar. Dokumen-dokumen penting yang ditemukan diserahkan kepada aparat.

Hari Jumat, tepat seminggu setelah pembantaian enam jenderal di Lubang Buaya, menjadi hari pembalasan rakyat. Namun, sehari sebelumnya Presiden Soekarno dalam sidang kabinet di Bogor meminta rakyat menahan diri. Ia memperingatkan bahwa dendam hanya akan memperdalam perpecahan bangsa dan menguntungkan “Nekolim” (neo-kolonialis, kolonialis, dan imperialis).

Krisis Ekonomi dan Harga Rakyat

Sementara situasi politik memanas, harga kebutuhan pokok melambung drastis. Rata-rata harga beras, makanan pokok rakyat, naik dari Rp150 per liter pada awal tahun menjadi Rp900 per liter, dan kini melonjak lagi hingga Rp1.200 per liter.

Ketidakpastian ini membuat warga di kota-kota besar, terutama Jakarta, melakukan aksi borong (hamsterwoede). Banyak pedagang, sebagian besar etnis Tionghoa, dituding memanfaatkan keadaan untuk menaikkan harga lebih tinggi lagi.

Nilai tukar rupiah juga merosot. Kurs dolar AS di pasar gelap meroket dari Rp10.000 menjadi Rp16.000 hanya dalam hitungan hari.

Waspada Keadaan Darurat

Melihat kondisi genting, sejumlah kedutaan asing di Jakarta mulai menyiapkan langkah-langkah darurat. Misalnya, Kedutaan Besar Belanda melalui Dubes Mr. E.L.C. Schiff membagi komunitas Belanda di Jakarta ke dalam enam kelompok kecil, masing-masing dengan seorang koordinator kontak. Hal ini untuk memastikan komunikasi jika keadaan memburuk dan kontak langsung dengan kedutaan tidak mungkin dilakukan.

Kekacauan juga menjalar ke jantung kota. Di kompleks Hotel Indonesia, aparat menangkap enam orang simpatisan komunis. Bahkan seorang anggota PKI melompat bunuh diri dari atap gedung setinggi 15 lantai ketika aparat melakukan penggerebekan.

Razia dan Tanda-Tanda Kejatuhan PKI

Militer terus melakukan razia besar-besaran di Jakarta. Truk-truk penuh tahanan komunis dengan tangan diikat dan bayonet terhunus menjadi pemandangan sehari-hari.

Kantor organisasi mahasiswa komunis di Jalan Cirebon ditutup. Dari hasil penggeledahan ditemukan logbook yang merinci setiap gerak-gerik Menteri Polisi yang pernah tinggal di seberang gedung.

Upaya para kader PKI untuk menghapus jejak dengan mencopot papan bergambar palu-arit dari kantor-kantor cabang juga gagal. Banyak yang tertangkap saat mencoba menghancurkan papan-papan tersebut. Ironisnya, sebulan sebelumnya merekalah yang dengan penuh semangat menumbangkan papan milik Partai Murba — partai yang dilarang Soekarno karena keras menentang PKI.

Soekarno, Islam, dan Ancaman “Vietnam Kedua”

Pada 11 Oktober 1965, laporan asing menuliskan gambaran: Indonesia, yang terkoyak oleh konflik politik, masih berada di bawah kendali Soekarno. Ia berusaha menahan militer dan kelompok kanan agar tidak menghancurkan keseimbangan, tetapi tuntutan semakin keras.

Kelompok Islam — terutama NU dan Masyumi (meski secara formal sudah dibubarkan) — bersama kaum Katolik dan kekuatan non-komunis lain membentuk aliansi untuk menekan Soekarno. Tuntutan mereka jelas: PKI harus dibubarkan.

Kegagalan kudeta yang menewaskan enam jenderal dan lebih dari 20 korban lain membuat situasi di Jawa begitu tegang. Banyak kalangan internasional mulai khawatir Indonesia akan berubah menjadi “Vietnam kedua”, yakni medan perang ideologi antara blok Barat dan komunis.

Sebagai tanda keseriusan krisis, pasukan elit Divisi Siliwangi ditempatkan di Jakarta, status darurat perang diberlakukan, jam malam ketat ditegakkan, dan telegram atau berita yang dikirim lewat kantor telegraf diawasi penuh oleh militer.

Kesimpulan

Laporan-laporan ini menunjukkan betapa gentingnya situasi Indonesia pada Oktober 1965. Setelah peristiwa G30S, negara terombang-ambing antara kendali Presiden Soekarno yang masih melindungi PKI, tekanan militer dan kelompok Islam yang menuntut pembubaran PKI, serta kondisi ekonomi rakyat yang makin parah.

Indonesia berada di persimpangan: tetap setia pada politik Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) ala Soekarno, atau menuju pembasmian total PKI yang akhirnya benar-benar terjadi pada akhir 1965 hingga 1966.

(Sumber : Laporan Frank de Jong
Koresponden ANP di Jakarta dalam Surat Kabar De Volkskrant, 11 Oktober 1965 )

Penulis : John

Tanah Asin dan Fosil Laut, Jejak Laut Purba di Nganjuk


Tanah Asin dan Fosil Laut di Jatikalen, Jejak Laut Purba di Nganjuk?

Fenomena alam tak biasa ditemukan di Dusun Tondo Wesi, Desa Pule, Kecamatan Jatikalen, Kabupaten Nganjuk. Sebidang tanah seluas sekitar 50 meter persegi di kawasan tersebut terasa asin layaknya garam, sehingga memunculkan dugaan kuat bahwa wilayah ini pada masa lampau merupakan bagian dari laut purba.

Pegiat Kotasejuk, Aris Trio Effendi, yang melakukan penelusuran langsung di lokasi, menyebut kondisi tanah itu berbeda dengan tanah pada umumnya.

“Tanah ini rasanya asin, betul-betul seperti garam. Kalau tidak percaya, bisa datang dan mencoba sendiri. Warga juga mengatakan jika digali sedalam dua sampai tiga meter, akan keluar air asin. Itulah sebabnya lahan ini tidak bisa ditanami, tanaman selalu mati,” ungkap Aris.
Sumur Tua Berair Asin

Tak jauh dari lokasi tanah asin, Aris menemukan sebuah sumur tua yang diduga peninggalan era kolonial Belanda. Sumur tersebut tetap mengeluarkan air asin meski musim kemarau, bahkan menghasilkan endapan garam berwarna putih di sekitarnya.

“Perbedaannya, di lokasi tanah kering rasanya asin tapi tidak ada air. Sedangkan di sumur tua ini, airnya mengalir, asin, dan meninggalkan endapan garam. Fenomena ini penting untuk penelitian lebih lanjut,” jelasnya.
Sumber Diduga Minyak

Sekitar tiga kilometer dari titik pertama, di tengah kawasan hutan, Aris menemukan sumber lain yang diduga minyak. Indikasi ini memperlihatkan adanya potensi sumber daya alam yang belum banyak diketahui masyarakat.
Fosil Kerang Laut

Selain itu, fosil kerang laut juga mudah dijumpai di wilayah Jatikalen, terutama di pemukiman Dusun Lengkong Geneng. Temuan fosil ini semakin menguatkan dugaan para pegiat sejarah bahwa kawasan Jatikalen pernah berada di bawah laut.
Dugaan Laut Purba

Rangkaian temuan tanah asin, sumur tua berair garam, sumber minyak, hingga fosil laut, memberikan gambaran kuat bahwa wilayah Jatikalen, yang kini menjadi daratan Kabupaten Nganjuk, kemungkinan besar dulunya merupakan bagian dari laut purba. Perubahan geologi signifikan diyakini telah mengangkat dasar laut menjadi daratan seperti sekarang.
Perlunya Penelitian Ilmiah

Aris menegaskan bahwa fenomena ini tidak boleh diabaikan. Ia mendorong adanya penelitian lebih lanjut dari ahli geologi maupun arkeologi.

“Ini bukan sekadar cerita warga, tapi fakta lapangan yang bisa dibuktikan. Jika diteliti dengan baik, temuan ini bisa menjadi kunci untuk memahami sejarah geologi Nganjuk,” tegasnya.
Potensi Edukasi dan Pelestarian

Komunitas Kotasejuk menilai bahwa temuan di Jatikalen tidak hanya bernilai ilmiah, tetapi juga berpotensi menjadi sarana edukasi sejarah dan ekologi. Pemerintah daerah bersama masyarakat dapat menjadikan fenomena ini sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan alam dan sejarah untuk generasi mendatang.

Penulis: John