Sabtu, 06 September 2025

Ekspedisi Penelusuran Situs Kresek, Lereng Wilis – Nganjuk

Ekspedisi Penelusuran Situs Kresek, Lereng Wilis – Nganjuk

Kotasejuk sebagai komunitas pemerhati sejarah dan ekologi di Nganjuk kembali melakukan kajian lapangan dalam rangka penyelamatan dan dokumentasi warisan budaya. Kali ini, fokus penelitian diarahkan pada Situs Kresek di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Lokasi situs berada di lereng Pegunungan Wilis pada ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Ekspedisi ini dilaksanakan oleh tim Kotasejuk yang terdiri dari Johnarief, Aris Trio Efendi, Amin Fuadi, dan Sukadi, dengan dukungan dari juru pelihara situs, Alex Sutarno, serta partisipasi aktif masyarakat setempat.

Situs Kresek memiliki luas kurang lebih 60 meter persegi, dengan struktur menyerupai punden berundak yang tersusun dari potongan batu andesit. Sebagian besar talud saat ini tertimbun tanah, diduga akibat proses longsor yang terjadi di masa lalu.

Pada bagian sisi timur selatan, ditemukan 25 anak tangga batu yang curam menuju puncak bukit. Bagian puncak yang diperkirakan menjadi lokasi candi utama kini tertutup oleh semak belukar dan belum tergali secara menyeluruh.

Di area sekitar puncak, tim mendapati sebaran potongan batu candi dengan ragam ornamen, antara lain ukiran bermotif sulur, geometris, profil, dan antefik. Potongan-potongan tersebut dikumpulkan dan disusun sementara di salah satu sudut situs agar lebih mudah diamati.

Penemuan penting lainnya adalah fragmen arca setengah badan, yang ditemukan oleh juru pelihara situs pada Senin, 1 September 2025, sekitar 100 meter dari kumpulan batu candi. Berdasarkan pengamatan, arca tersebut kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan struktur utama situs.

Kajian lapangan yang dilakukan Kotasejuk turut diverifikasi langsung oleh Amin Fuadi, Kepala Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Nganjuk sekaligus Ketua Kotasejuk. Dalam penjelasannya, sosok arca belum dapat dipastikan karena bagian bawahnya hilang. Dugaan sementara, fragmen ini dapat berkaitan dengan arca Dewi Durga dalam wujud Parwati, meskipun identifikasi lebih lanjut masih diperlukan melalui kajian arkeologis.

Penuturan warga dan juru pelihara memperkuat dugaan bahwa pada masa lampau di Situs Kresek berdiri sebuah candi berukuran besar dengan banyak arca. Namun, sejak dekade 1990-an, terjadi perusakan signifikan, di mana sebagian arca diduga dicuri atau dirusak untuk tujuan perdagangan ilegal.

Situs Kresek sendiri diperkirakan menjadi bagian dari rangkaian tempat peribadatan di lereng Wilis yang berjajar hingga ke Candi Sekartaji. Hal ini menunjukkan adanya pola pemukiman dan aktivitas keagamaan yang terstruktur di kawasan tersebut.

Untuk sementara, fragmen arca yang ditemukan diamankan di lokasi. Pemindahan ke museum menghadapi kendala teknis karena medan menuju situs cukup terjal dan sulit dilalui kendaraan. Rencana konservasi atau restorasi baru akan dilakukan apabila ditemukan potongan lain yang dapat menyatu dengan fragmen yang ada.

Kotasejuk menekankan pentingnya penyelamatan sisa-sisa peninggalan di Situs Kresek sebagai bagian dari warisan sejarah dan budaya Nganjuk. Upaya ini bukan hanya sekadar menjaga benda arkeologis, tetapi juga merekonstruksi jejak peradaban masa lalu yang menjadi identitas kolektif masyarakat.

Kajian akademis yang dilakukan Kotasejuk di Situs Kresek menegaskan bahwa kawasan ini menyimpan potensi arkeologis besar, namun menghadapi ancaman kerusakan dan kehilangan akibat perusakan di masa lalu serta kondisi alam. Temuan fragmen arca setengah badan menambah daftar bukti arkeologis yang memperkuat dugaan adanya kompleks candi besar di lereng Wilis.

Kotasejuk bersama masyarakat, juru pelihara, dan pemerintah daerah berkomitmen untuk terus mengawal upaya pelestarian Situs Kresek. Ke depan, diperlukan riset lanjutan secara multidisipliner agar warisan sejarah ini dapat terungkap dan diselamatkan untuk generasi mendatang.

Foto Kegiatan 
Penulis : John 

Upaya Kotasejuk Selamatkan Jembatan Lama Kertosono Mendapat Respon DPR RI

Upaya Kotasejuk Selamatkan Jembatan Lama Kertosono Mendapat Respon DPR RI

Upaya Kotasejuk bersama Aliansi Masyarakat Peduli Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) dalam menyelamatkan Jembatan Lama Kertosono (JLK) akhirnya mendapat tanggapan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

"Melalui surat resmi bernomor B/0592/PT.06/08/2025, tertanggal 27 Agustus 2025, Sekretariat Jenderal DPR RI menyampaikan bahwa aspirasi masyarakat terkait permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) mengenai status dan pelestarian JLK telah diterima," kata Prayogo Laksono, kuasa hukum Kotasejuk yang menerima surat balasan tersebut.

Prayogo manambahkan surat balasan tersebut menyebutkan bahwa sesuai arahan Ketua DPR RI, Dr. (H.C.) Puan Maharani, tindak lanjut akan dilaksanakan oleh Komisi V DPR RI yang membidangi infrastruktur, perhubungan, dan pekerjaan umum.

Dalam surat balasan yang ditandatangani oleh Drs. Mohammad Díazuli, M.Si. selaku Kepala Biro Kesekretariatan Pimpinan DPR RI, juga ditegaskan bahwa aspirasi masyarakat menjadi perhatian serius dan masuk dalam agenda resmi DPR RI.
Kotasejuk bersama aliansi sebelumnya telah mengirimkan surat dengan nomor 01/ALIANSI/2025 pada 4 Agustus 2025 lalu. Surat tersebut berisi permohonan agar DPR RI memfasilitasi RDP mengenai rencana pembongkaran Jembatan Lama Kertosono yang memiliki nilai sejarah penting.

Jembatan yang dibangun pada tahun 1921 ini bukan hanya sarana penghubung, tetapi juga saksi sejarah perjuangan bangsa. Pada masa perang kemerdekaan, JLK berperan penting sebagai jalur logistik dan strategi pertahanan. Saat ini kondisinya memang mengalami kerusakan, namun masih menyimpan nilai sejarah dan budaya yang layak dilestarikan sebagai cagar budaya.

Ketua Kotasejuk Amin Fuadi menegaskan bahwa respon dari DPR RI ini menjadi angin segar dalam perjuangan menyelamatkan JLK dari rencana pembongkaran. Kotasejuk berharap agar Komisi V DPR RI segera menindaklanjuti dengan RDP, melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk Balai Pelestarian Kebudayaan, pemerintah daerah, serta komunitas masyarakat setempat.

“Ini bukan hanya soal jembatan, tetapi soal identitas sejarah dan warisan budaya kita. Jika JLK hilang, kita kehilangan bagian penting dari jejak peradaban Nganjuk dan Kertosono,” ungkapnya.

Kotasejuk bersama masyarakat akan terus mengawal proses ini, sembari mengajak semua pihak untuk ikut menjaga, melestarikan, dan menghargai warisan sejarah bangsa.

Penulis : John.

Sabtu, 30 Agustus 2025

Fakta Dhermojoyo dalam "Laporan Khusus" Surat Kabar Belanda


JUDUL : PENYEBAB PERLAWANAN DI BARONG

LATAR PENYELIDIKAN

Sebuah penelitian mengenai sebab-sebab perlawanan di daerah Bandoengan (Bendungan) dilakukan oleh kontributor surat kabar De Locomotief. Ia berusaha menggali inti persoalan dengan metode tertentu. Menurutnya, sumber terbaik untuk memahami peristiwa di desa adalah penduduk setempat, sebab mereka mengetahui hal-hal tersembunyi. Namun, memperoleh keterangan jujur dari mereka sulit, karena rasa takut, kepentingan pribadi, atau kecenderungan untuk tidak terus terang.

Untuk itu, bantuan didapat dari seorang pensiunan pejabat pribumi, mantan polisi, yang memiliki jaringan keluarga dan teman di Barong. Dengan menyamar sebagai orang yang hanya datang untuk urusan keluarga, ia berhasil mendapatkan keterangan lebih terbuka. Dari informasi yang terkumpul, ditarik beberapa kesimpulan yang meskipun tidak sempurna, tetap bernilai karena didasarkan pada communis opinio (pendapat umum), bukan pada ketakutan atau upaya menyenangkan pihak berkuasa.

BANTAHAN TERHADAP DUGAAN AWAL

Seorang penulis lain di De Locomotief telah menolak dugaan bahwa pabrik gula di sekitar lokasi terlibat. Wawancara dengan penduduk desa juga menegaskan hal itu. Darmodjojo.(Dhermojoyo), tokoh utama peristiwa ini, justru dikenal memiliki hubungan baik dengan pihak pabrik. Ia seorang tuan tanah kaya, pemilik banyak ternak, dengan penghasilan besar, serta diyakini memiliki kesaktian (kucat) untuk memenuhi keinginan orang. Oleh karena itu, tidak masuk akal bila perlawanan dipicu oleh tekanan dari pabrik gula.

Dugaan lain adalah beban kerja rodi atau kewajiban desa, namun juga tidak terbukti. Ada pula anggapan bahwa Darmodjojo kecewa karena ambisi politiknya gagal, meskipun hal ini hanya mungkin menjadi faktor sampingan, bukan penyebab utama.

FAKTOR MIMPI

Yang paling dianggap masuk akal adalah soal mimpi. Dalam penyelidikan resmi di Ngandjoek, arah pertanyaan banyak mengaitkan perlawanan dengan mimpi. Menurut pendapat umum di desa, salah satu anak Darmodjojo bermimpi bahwa ayahnya akan menjadi ratu dari bumi (disebut sebagai Sultan Turki). Darmodjojo sendiri tidak menanggapinya secara berlebihan. Namun, dalam penyelidikan resmi, saksi-saksi justru menyebut Darmodjojo mendeklarasikan diri sebagai RATU ADIL.

Kontradiksi ini berawal dari surat anonim kepada wedono sementara di Waroedjajeng (Warujayeng), yang menuduh Darmodjojo mengaku sebagai ratu adil dan akan mengadakan slametan pada 29 Januari. Surat tersebut membentuk opini yang kemudian dikonfirmasi secara sepihak dalam penyelidikan resmi. Karena pertanyaan penyidik diarahkan ke sana, penduduk pun memberikan jawaban yang sesuai dengan dugaan pemerintah.

SIAPA DARMODJOJO?

Darmodjojo berusia sekitar 65 tahun, seorang tuan tanah kaya dengan banyak ternak, enam istri, dan 21 anak. Selain dari pertanian, penghasilan besarnya berasal dari praktik spiritual yang berlandaskan kitab kuno Rodjokosmo. Kitab ini berisi cara berdoa agar permohonan dikabulkan.

Orang dari berbagai daerah datang kepadanya: perempuan yang ingin punya anak, pejabat desa yang ingin naik pangkat, orang yang mencari keberuntungan, hingga siapa pun yang membutuhkan. Mereka membawa ayam putih, doa, atau jamu buatan Darmodjojo. Ia bahkan membuka “sekolah” untuk murid-muridnya. Setelah cukup menguasai teori, murid harus memberi persembahan berupa anak sapi dan kerbau agar bisa lanjut ke tahap praktik.

Pemerintah kolonial sudah lama mengawasi aktivitasnya, khawatir bila ajarannya berbahaya. Namun, hasil pengawasan menunjukkan kegiatannya hanya bersifat keagamaan, sehingga tidak dianggap mengancam.

FAKTA-FAKTA TENTANG DARMODJOJO

Ambisi Politik dan Permusuhan

Darmodjojo pernah mencalonkan diri sebagai kepala desa, namun kalah. Kekalahan itu menimbulkan permusuhan mendalam antara dirinya dan kepala desa, yang diperkuat dengan intrik saling menjatuhkan. Darmodjojo selalu kalah karena dua hal:

1. Sulit bagi seorang pribumi melawan pejabat pemerintah, sekalipun rendah kedudukannya.
2. Darmodjojo tidak populer di desanya, sehingga tidak punya banyak pengikut.

Kepala desa beberapa kali berhasil memojokkannya, antara lain:

• Darmodjojo didenda 25 gulden karena menyembelih kerbau betina tanpa izin.
• Ia dituduh menggunakan kayu tanpa izin resmi untuk membangun rumah.

Bagi seorang kaya, perlakuan ini memalukan. Akibatnya, kebencian Darmodjojo dan keluarganya terhadap kepala desa semakin mendalam.

SLAMETAN TAHUNAN DAN MIMPI

Darmodjojo rutin mengadakan slametan besar di bulan Besar, menyembelih beberapa kerbau, dan mengundang keluarga serta murid-muridnya. Tahun itu pun ia berniat mengadakan acara serupa. Namun, beredar cerita tentang mimpi bahwa ia akan menjadi raja.

Meski Darmodjojo sendiri tidak menaruh arti pada mimpi itu, musuh-musuhnya memanfaatkan kesempatan ini.

• Pemerintah Eropa sudah curiga pada perkumpulan besar.
• Cerita mimpi menambah alasan untuk menudingnya.

Kondisi ini menjadi celah bagi lawan-lawan Darmodjojo untuk menjebaknya.

SURAT ANONIM DAN PERAN APARAT DESA

Asisten wedono Baletoeri (Baleturi), seorang pejabat muda berusia 30 tahun yang menjabat wedono sementara di Waroedjajeng (Warujayengl, menerima surat anonim. Surat itu menyebut Darmodjojo mengaku sebagai ratu adil dan hendak mengadakan slametan.

Ia segera bergerak ke Barong, menemui kepala desa, lalu mengirim perangkat desa , yang juga musuh Darmodjojo , sebagai mata-mata. Polisi ditempatkan di sekitar rumah Darmodjojo.

Laporan mata-mata menyebut:

• Banyak orang sudah berkumpul di rumah Darmodjojo.
• Ia tidak berhasil menemui Darmodjojo karena dicegah murid-murid yang bahkan menghunus senjata.

Laporan itu membuat seolah pemberontakan nyata, meski kebenarannya tidak jelas. Bisa jadi memang ada murid bersenjata, atau justru karena provokasi si mata-mata.

TUDUHAN SENJATA

Kemudian muncul tuduhan bahwa Darmodjojo menimbun senjata. Faktanya, yang ditemukan hanyalah senjata tajam, antara lain:

26 keris
5 tombak
9 golok
2 mata tombak
3 pedang
5 pisau kecil
1 paoblat (pedang besar)
1 senapan tua dengan peluru berkarat
Beberapa palu, pentungan, serta peralatan bengkel dari pandai besinya.

Mengingat keris dan tombak lazim dimiliki masyarakat pribumi, dan banyak orang hadir di slametan, jumlah itu masih wajar. Sulit dianggap bukti bahwa Darmodjojo menyiapkan pemberontakan.

KESIMPULAN

1. Permusuhan pribadi antara Darmodjojo dan kepala desa menjadi faktor utama yang melatarbelakangi.
2. Slametan yang dilakukan adalah tradisi tahunan, bukan kegiatan politik.
3. Cerita mimpi dipelintir untuk menuduh Darmodjojo hendak memberontak.
4. Aparat desa dan polisi bertindak berdasarkan laporan mata-mata yang meragukan.
5. Senjata yang ditemukan tidak cukup kuat dijadikan bukti pemberontakan.

Keseluruhan peristiwa ini lebih tepat dipandang sebagai hasil intrik, permusuhan pribadi, dan salah tafsir, yang kemudian berujung pada tragedi berdarah.

Sumber: Surat Kabar Sumatra-Bode, 18 Februari 1907 (diterjemahkan sesuai tulisan aslinya).
Dari sumber lain Surat Kabar De Sumatra Post , 5 Februari 1910 kutipannya sebagai berikut : 

Akibat peristiwa itu tercatat 15 orang tewas, 7 luka berat, dan 66 orang ditangkap, di antaranya sekitar 50 perempuan dan anak-anak.

Pasukan dari Surabaya dikirim. Asisten Residen segera berangkat menuju Barong bersama polisi, dan kemudian bergabung dengan pasukan yang baru tiba di bawah pimpinan Letnan Haldenborg.

Asisten Residen dan Bupati, ketika tiba di halaman rumah tersangka utama, mendapat perlakuan kasar berupa lemparan batu dari para pengikut Darmodjojo. Hal ini kemudian disusul serangan dari sekitar 40 orang pribumi bersenjata. Para pejabat tidak sanggup bertahan melawan jumlah yang lebih besar, sedangkan polisi pun tidak mampu mengimbangi. Mereka akhirnya harus mundur, namun tidak tanpa korban.

Asisten Residen mengalami luka parah, seorang wedono terbunuh, seorang asisten wedono juga tewas, dan seorang wedono lain terbunuh pula. Di pihak pemerintah tercatat lima korban jiwa dan sebelas orang luka-luka. Sementara itu beberapa pengikut pemberontak juga berhasil dilumpuhkan.


Penulis: John.

Senin, 25 Agustus 2025

Penanaman Pohon Kemenyan Putih di Kompleks Candi Lor (Candi Jayamerta)

Penanaman Pohon Kemenyan Putih di Kompleks Candi Lor (Candi Jayamerta), Nganjuk

Pada hari Minggu, 24 Agustus 2025, dilaksanakan kegiatan penanaman empat bibit pohon kemenyan putih di kompleks Candi Lor atau Candi Jayamerta, Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Bibit tersebut ditanam pada empat titik sudut candi sebagai wujud upaya pelestarian flora langka sekaligus penghormatan terhadap situs bersejarah yang berdiri sejak abad ke-10 Masehi.

Bibit kemenyan putih yang digunakan dalam kegiatan ini berasal dari kawasan hutan Tritik, Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Penemuan pohon tersebut bermula dari kegiatan penelusuran situs purbakala yang dilakukan komunitas sejarah dan ekologi Kotasejuk. Mengingat statusnya yang jarang dijumpai, komunitas kemudian berinisiatif mengupayakan pelestarian melalui pembudidayaan.

Gagasan penanaman kemenyan putih di Candi Lor berawal dari seorang praktisi spiritual asal Surakarta yang enggan disebutkan identitasnya. Ia menyampaikan bahwa gagasan tersebut diperoleh setelah menjalani meditasi selama tiga malam di sekitar kompleks candi.

Kegiatan penanaman turut dihadiri oleh KGPH Dharu Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat, bersama perwakilan Kejaksaan Negeri Nganjuk, Trah Bupati Nganjuk, Paguyuban Pakasa, Kodim 0810 Nganjuk, serta kepala desa setempat. Dalam sambutannya, KGPH Dharu Kusumo menekankan pentingnya mengkaji daya tahan material penyusun Candi Lor, khususnya batu bata yang mampu bertahan selama lebih dari seribu tahun. Ia mendorong adanya penelitian laboratorium guna mengungkap teknologi konstruksi masa lampau, yang jika diadaptasi, berpotensi menjadi produk unggulan daerah dengan nilai ekonomis tinggi.

Ketua Kotasejuk, Amin Fuadi, menyampaikan bahwa Candi Lor didirikan oleh Mpu Sindhok pada tahun 937 Masehi sebagai bentuk penghormatan kepada masyarakat Anjuk Ladang (Nganjuk) atas kontribusinya dalam peperangan melawan pasukan Pamalayu. Hal ini tercatat dalam Prasasti Anjuk Ladang bertarikh 10 April 937 Masehi, di mana Mpu Sindhok menetapkan tanah sima bebas pajak untuk rakyat setempat. Candi tersebut dipersembahkan kepada Sang Hyang Prasada.

Penanaman kemenyan putih di Candi Lor memiliki makna ganda: sebagai simbol konservasi ekologi melalui pelestarian spesies pohon langka, serta sebagai penguatan nilai sejarah dengan menjaga kelestarian warisan budaya. Sinergi antara aspek ekologi dan sejarah diharapkan mampu memperkuat identitas lokal, memperluas kesadaran masyarakat terhadap pelestarian, serta membuka peluang inovasi berbasis kearifan tradisional.


Foto Kegiatan


Penulis : John